Tuesday, March 9, 2010

Berkejaran.

Berkejaran dengan waktu sudah pasti dialami setiap hari. Tapi belum tentu setiap hari orang berkejaran dengan bis, atau lampu merah untuk keamanan saat menyeberang kan? Seperti Seno Gumira Ajidarma pernah bilang: manusia Jakarta dalah manusia mobil.

Selain mobil, di pagi buta jam setengah enam pagi, juga berdesakan adegan akrobatik dari para pengendara motor dan raksasa penguasa jalan seperti patas ac atau bis-bis ukuran sedang. Manusia mobil berkejaran dengan three in one. Akrobatik motor berkejaran dengan celah-celah jalanan. Patas ac dan bis berkejaran dengan bis lainnya; mengejar penumpang dan setoran.

Tidak seperti biasa, pagi ini, saya terpaksa turun ke jalan dari mulut underpass karena angkutan umum yang saya naiki terjebak alias tidak jalan sama sekali karena ada patas yang ngetem di tengah jalan. Saya menginjak kol busuk (sambil bersyukur karena telah memutuskan memakai flat shoes daripada wedges), menyaksikan penjual sayur mengupas jagung, membungkus pare, menata bayam, wortel dan timun atau membungkus tempe dengan daun pisang. Semuanya dilakukan dengan cepat dan sambil diselingi senda gurau dengan sesama teman penjual sayur. Mereka berkejaran dengan uang sekolah bulanan anaknya atau tuntutan keluarga di kampung.

Saya bangun jam 4 pagi. Terburu-buru mandi. Terburu-buru pakaian dan menyiapkan sarapan. Saya berkejaran dengan kemacetan di Jakarta. Kalau saya berangkat jam 5, saya bisa sampai kantor jam 6.30, artinya perjalanan memakan waktu 90 menit. Tapi kalau saya berangkat 5.30, waktu perjalanan akan molor sampai dua jam. Begitu seterusnya. Hingga kadang waktu perjalanan mencapai 2,5 – 3 jam. Prihatin.

Jakarta. Semua orang lari-lari. Terbirit-birit dengan waktu.
Nyda pagi ini: jogging sambil menyeberang jalan, sambil melewati pelataran Plasa Senayan dihibur dengan Heard ‘Em Say-nya Kanye West feat. Adam Levine (Maroon 5), dibuat ngiler dengan bau kopi Starbucks, yang bahkan belum menurunkan kursi-kursinya. Tiba di cubicle, IP phone saya menunjukkan jam 6.40. Dan sepatu yang menginjak sayuran di pasar tadi, kini mendarat di atas karpet lurik abu-abu bercampur dengan partikel debu yang bersembungi di serat-serat karpet. Simbol penduduk sub-urban yang bertitel sarjana dan seringnya dicap social climber. Pagi ngebis, sampe kantor adem nga-ac. Selamat pagi!

Monday, March 8, 2010

Mulai di Senin, Dari Angka 0

Senin adalah hari pertama kerja setelah libur di Sabtu dan Minggu.
Dan 0 adalah angka pertama dalam bilangan cacah.
Saya tidak tahu siapa yang membuat teori ini. Seperti juga teori yang telah ada, pertanyaan “mengapa” dijawab dengan “karena”.
Membosankan sungguh hidup dalam pola tertentu.
Delapan jam kerja:
1 jam nyanyi2 dan memainkan playlist.
4 jam nonton dvd
1 jam makan siang
2 jam tidur siang
Pola nyda.

Monday, March 1, 2010

Kesempatan

(Menulis sambil mendengarkan Postal Service: Sleeping in; tune-nya menggoyang bahu)

Berbicara soal kesempatan memang terkadang bikin keki. Ada yang bilang kesempatan datang karena keberuntungan, ada juga yang bilang kesempatan didapat karena dicari dengan kerja keras.

Saya percaya kesempatan datang di saat keyakinan bulat sudah dan jerih payah terkuras habis, tidak lupa doa yang dikomat-kamitkan di mulut dan hati.

Beberapa kenalan saya memiliki kesempatan yang saya inginkan sejak lama, namun belum kesampaian. Kadang memang mengundang dengki, tapi saya juga yakin kalau saya kurang gigih untuk mendapatkan keinginan saya. Karena saya tidak bisa merelakan delapan jam waktu tidur saya untuk mengejar mimpi.

Ada satu kenalan yang mendapat kesempatan kuliah di luar negeri dengan duit ortu, ada lagi yang di usia 23 udah semester akhir untuk gelar master-nya, belum lagi yg udah nerbitin beberapa bukunya.

Saya menghitung-hitung tabungan saya, belum cukup untuk kuliah lagi, belum juga cukup buat nerbitin buku sendiri. Harus sabar lebih, atau irit lebih lagi. Haha.
Pada dasarnya, kesempatan itu ada di depan mata, terbentang luas, cuma kita pasti milih-milih mana yang mau diambil, mana yang sesuai, mana yang bernilai.
Tapi kalau terlalu lama memilih-milih juga, risikonya kesempatan akan terbang menjauh.

Daftar kesempatan yang saya lewatkan di antaranya:
1. Menjadi penyanyi blues, mengingat Papa saya aktif di Inablues pasti jalan menjadi penyanyi blues lebih mudah dan mengingat kata Koh suara saya terbilang bagus untuk penyanyi amatir
2. Menerbitkan novel sendiri, waktu itu saya memperoleh beasiswa menulis kreatif dari Agromedia, janji mereka novel yang selesai akan dibantu penerbitannya, sayang sekali novel saya ngga maju-maju, jadi tidak ada yang bisa diterbitkan. Teman saya sesama penerima beasiswa sudah dua buku diterbitkan
3. Kuliah di Australia, waktu itu ceritanya ada yang mau membiayai kuliah saya tapi karena baru kenal saya tolak, saya paling tidak suka balas budi

Tapi saya yakin satu pintu kesempatan tertutup, pintu kesempatan lain dibuka.
Buktinya hari ini saya berhasil menulis 67 edisi newsletter tentang perusahaan tempat saya bernaung, total berarti ada 191 artikel, dalam kurun waktu 1 tahun 5 bulan. Suara saya juga sudah saya distribusikan kepada salah satu calon music director. Dan katanya ok, saya bahkan dipercaya untuk menciptakan lagu berdua dengan beliau. Soal kuliah di luar negeri masih meraba-raba memang, tapi salah satu pembaca blog ini, percaya ngga percaya, mau mensponsori buku pertama saya (mudah-mudahan yang ini tidak saya lewatkan).

Jangan lupa syukuri kesempatan-kesempatan kecil yang kadang terlupakan.
Kesempatan yang tidak saya lewatkan hari ini adalah tidur satu jam di bis dari total 2 jam perjalanan dengan rute Pamulang-Senayan. Alhamdulillah.

Raih kesempatan dan bersyukur.

Note:
Semoga tulisan saya selalu bermanfaat seperti ini, tapi tidak bohong saya lebih suka mencela orang lain dalam tulisan. Rasanya seperti dibebaskan dan paling benar. Karena itu Gandhi dan Mother Theresa cuma ada satu di dunia dan orang seperti saya jumlahnya mungkin jutaan tersebar di daerah-daerah sub-urban.