Monday, December 28, 2009

Hati Saya = Fotografer Sejarah

Saya menemukan fungsi hati yang lain. Menurut saya sistem kerja hati seperti fotografer terlatih, membidik dari angle-angle tertentu. Hati orang bijak dapat dipastikan menyasar angle yang bagus, yang menguntungkan bagi si objek sasaran kemudian mempublikasikannya sehingga harumlah nama objek sasaran. Maaf saya ralat, bukankah belum tentu bidikan ini bijak? Kadang si bijak hanya terlalu naïf. Kalau memang objeknya tidak harum di dalam tapi mampu menebar keharuman di hampir semua orang kecuali orang-orang suspicious seperti saya, maka terkecohlah hati si bijak.

Angle-angle ini diambil tergantung karakter si pemilik hati. Hati saya? Well, saya akui hati saya seringkali dan cepat sekali membidik segala sesuatu yang negative, merasakan yang negative, menyerapnya dalam-dalam, merembet mengesalkan orang lain, baru berpikir di kemudian bahwa itu masalah saya bukan orang, jadi sungguh tidak pantas melimpahkannya kepada orang lain, terutama mereka yang terdekat.

Ada juga hati yang bekerja seperti infotainment mencari cela yang bisa menjadi booming, itu saja bisanya. Ada juga hati yang datar, anglenya seperti yang diambil fotografer-fotografer untuk korporasi, hanya lurus sesuai jalur. Fotografer jurnalis mungkin bagai hati yang tertantang untuk selalu meneliti mana angle terbaik, tentu saja makna terbaik di sini subjektif. Bisa terbaik bagi penikmat atau terbaik mewakili idealisme si fotografer.

Kalau saya bisa memilih, saya prefer memiliki hati yang bekerja bak fotografer sejarah/buku biografi, menangkap momen kelam dan bahagia si objek sasaran. Supaya selalu saya menyadari, setiap manusia punya cerita. Cerita itu, kadang hitam putih, kadang abu-abu tak terselesaikan, atau emas menyilaukan dan membencikan mata saya. Saya harap hati saya tidak hanya mengabadikan momen-momen itu tapi merumuskan formula yang tepat bagi saya, agar teka-teki hidup saya terpecahkan. Kepala saya lelah berpikir, mungkin saatnya hati membantu 

Note:
Saat saya menulis ini, saya tidak riset dulu apakah ada fotografer sejarah, tapi pas coba2 browsing, si google malah ngasih opsi: Mungkin maksud Anda history of photography. Membuat saya semakin malas untuk riset lebih jauh, maaf semua!

Cita-cita

Setiap orang punya cita-cita dalam hidupnya, atau kalau tidak punya cita-cita mungkin tepatnya tujuan hidup..
sejak delapan tahun yang lalu entah mendapat dorongan dari mana namun gagasan untuk menjadi seorang penulis nampaknya begitu kuat.
sekarang aku mengikuti workshop demi workshop, menjadi freelance reporter untuk sebuah majalah di Aussie sana, dan masih terus haus untuk menulis yang lain...

Cerita di Balik Cubicle

Mana tahu partisi bisa berbisik. Awalnya memang mengusik tapi lama-kelamaan akan kehilangan makna saat bisik-bisik tiada. Saya hidup di ruang baru selama sembilan jam, lima hari dalam seminggu. Namanya cubicle. Jauh lebih nyaman dari yang sebelumnya. Disini terasa ada kehidupan baru bernafaskan kekeluargaan.

Untuk seseorang yang individualis-autis memang harus beradaptasi di awal tapi tidak perlu waktu lama, saya sudah lebih dulu menikmatinya. Menikmati orang-orang mondar-mandir di depan cubicle saya.

Tulisan ini menggambarkan kehidupan di dalam cubicle nyda. Pagi hari akan ada obrolan pagi yang semangat membahas ini itu, orang-orang tetap akan berseliweran, ada yang melempar senyum, ada yang berjalan sambil mengekspresikan kekesalan yang ditahan, ada yang menyapa sekedarnya, ada yang memberikan pekerjaan tambahan, ada yang menawarkan kue bolu. Semuanya indah. Tampil mewakili diri sendiri. Dan riuh ramai tawa bernada baritone di ujung koridor, segerombol bapak-bapak berbicara ala pria, tertawa ala pria. Membuat kerinduan akan tempat ini menyerbu, sebelum waktu berpisah ditentukan.

Menjelang siang akan ada perkumpulan makan siang lengkap dengan gossip siang ini. Saya tidak bergabung di dalamnya. Saya hanya bagian kecil dari semesta cubicle ini. Tapi tetap menyenangkan dan selalu begitu. Tawa indah berurai. Bahkan diskusi ricuh pun dapat berubah menjadi tawa dan senyum. Doa saya cuma satu, semoga bukan semu.

Bilangan Fu dan Saya. Ada Cinta.

Akhirnya sejak dua minggu lalu saya selesai membaca Bilangan Fu. Saya kecewa karena Parang Jati mati, karena kematiannya melegalkan nilai yang saya pegang. Bahwa nurani tidak punya suara di dunia nyata. Orang-orang yang mampu bertahan adalah orang-orang seperti Yuda yang skeptis dan sinis. Idealisme ala malaikat seperti Parang Jati hanya sebuah cara elegan untuk menyiksa diri lalu mati. Walaupun saya banyak belajar untuk menghormati sesama juga dari Parang Jati. Belajar teori abu-abu dan tidak ada hitam putih di dunia ini.

Senang sekali saat menemukan bahwa post-modernisme cukup mendapat tempat dalam novel ini. Karena sudah sejak enam bulan lalu atau bahkan lebih, sejak saya membaca buku-buku teori analisis wacana atau bahkan framing serta esai-esai nyinyir dari Om Seno dan Goenawan Mohammad, saya men-cap diri saya sebagai bagian dari “gank of post-modernism”. Pikiran-pikiran yang saya pegang selama ini seakan dijabarkan dengan gamblang dalam novel yang terbagi menjadi tiga bagian ini, yakni Modernisme, Monoteisme, dan Militerisme.

Apa yang saya pikirkan mengenai hubungan dengan Tuhan, kekuasaan, people I live with, and place I live in cukup mendapat tempat dalam novel tersebut.

Suatu hari saya pernah bilang pada teman saya bahwa saya benci orang-orang militer karena mereka menurut saya cenderung sewenang-wenang dengan kekuasaan. Otot mereka lebih besar dari otak mereka. Lalu teman saya bilang saya naïf, saya berpendapat begitu karena saya tidak atau belum berkuasa, katanya. Mungkin ada benarnya juga. Namun selesai membaca novel ini ada perasaan lain terhadap militer, ada empati. Berbeda dengan saat selesai membaca novel Om Seno (Jazz, Perfume, and…), saat itu saya mengumpat militer. Rasanya seperti dikhianati kekasih yang protektif.

Selesai membaca Bilangan Fu, saran saya nonton The Lucky Ones. Bagi Anda pengumpat militer mungkin akan mendapat sudut pandang baru. Bukankah kita begitu dekat dengan istilah “kesempatan kedua” setelah lahir ke dunia yang terkontaminasi?