Monday, November 16, 2009

You are...

Isilah titik-titik di atas!
You are what you eat
You are what you say
You are what you listen to
You are what you wear

Ada yang setuju?
Saya karnivora, pemakan daging sejati, tidak mengenal sayuran kecuali salad yang berlumur thousand island.

Saya mendengarkan musik dengan standar kualitas "nyda", kadang dengerin Drake, Kid Cudi, Lupe Fiasco dan teman-temannya. Tapi sering juga tergoda buat denger musik-musik easy listening macam RAN, Ello, atau Juniar Arief (kalo denger lagu mereka bisa sambil melatih olah vokal :p).
Selebihnya saya pencinta Tortured Soul, Phoenix, The Magic Numbers, Maliq and The Essentials, Mariah Carey (please jangan muntah baca nama ini), The Killers, Ingrid Michaelson, Ladyhawke, Daft Punk dll.

Apa yang saya pakai?
Baju-baju longgar cenderung kebesaran, skinny jeans, dan mostly rok.
Koleksi sepatu saya? Ada sepatu ala wanita karir berpletak-pletok mengintimidasi flat shoes dengan kombinasi warna hitam-putih serta belt kecil sebagai pemanis, sepatu kulit bertali hitam polos, flat shoes cokelat, wedges berwarna turqoise, sepatu bahan produksi Bali.
Aksesoris wajib: gelang dan jam tangan.
Warna yang mendominasi: cokelat, biru, hitam, putih.

Semoga deskripsi di atas cukup mewakili siapa saya.

Terkait ungkapan "you are what you eat", ada hal menarik yang mau saya bagi. Siang itu, saya menonton Oprah Winfrey show yang membahas Proposi 2 yang akan diberlakukan di California, isinya saya tidak terlalu mengerti tentang apa. Yang saya tangkap, proposi tersebut berisi aturan mengenai standar kandang untuk hewan ternak. Proposi tsb ditentang keras oleh para peternak California, pasalnya dengan standar kandang yang ditetapkan dalam proposi tsb, usaha ternak mereka akan bangkrut, mengingat kandang yang tadinya cukup untuk menampung 10 ayam kini hanya boleh untuk 5 ayam.

Perluasan kandang serta renovasinya jelas akan memakan biaya banyak, kata mereka. Namun Peternak Iowa sudah membuktikan bahwa standar dalam proposi tsb sangat mungkin untuk diterapkan dalam bisnis ternak, justru lebih efisien dalam hal biaya, karena mereka tidak perlu membangun kandang (hewan ternak dibiarkan bebas berkeliaran di padang rumput luas), tidak perlu memberi vitamin untuk pertumbuhan mengingat mereka telah mendapat pakan yang cukup dari alam.

Oprah juga memutarkan video kandang babi dan sapi yang ada di California. Reaksi saya? Tidak berperikebinatangan! Sapi dan babi yang hamil diberi kandang yang hanya pas untuk porsi tubuh mereka saja, tidak bisa berputar atau meregang-regangkan kaki dan punggung di kala pegal seperti yang kita (manusia) lakukan.

Begitu juga nasib yang menimpa hewan ternak lainnya. Saya menyimpulkan, pantas saja orang Amrik mudah sekali memutuskan untuk perang sana-sini, makanan yang dia konsumsi saja hasil penganiayaan.

Kalau dibandingkan dengan Indonesia, sebagian besar penduduk Indonesia cuma mampu beli tempe tahu, hasilnya? perang tidak maju tapi dibilang berperikebinatangan juga belum tentu. Lha wong, bukannya ga doyan sapi, cuma keadaan memaksa gigit jari melihat harga daging ayam, sapi, dan kambing terus melonjak.

Selama perjalanan tadi saya juga berpikir bahwa ungkapan "you are..." di atas berlaku untuk kalangan middle-up class saja.
Kalau orang tidak mampu, boro-boro memikirkan apa pakaian yang dikenakannya sudah merepresentasikan dirinya atau belum, untuk makan saja sulit...

Wednesday, November 11, 2009

Commuter

MGMT
Time To Pretend

I'm feeling rough, I'm feeling raw, I'm in the prime of my life.
Let's make some music, make some money, find some models for wives.
I'll move to Paris, shoot some heroin, and fuck with the stars.
You man the island and the cocaine and the elegant cars.

This is our decision, to live fast and die young.
We've got the vision, now let's have some fun.
Yeah, it's overwhelming, but what else can we do.
Get jobs in offices, and wake up for the morning commute.
Forget about our mothers and our friends
We're fated to pretend
To pretend
We're fated to pretend
To pretend

I'll miss the playgrounds and the animals and digging up worms
I'll miss the comfort of my mother and the weight of the world
I'll miss my sister, miss my father, miss my dog and my home
Yeah, I'll miss the boredom and the freedom and the time spent alone.

There's really nothing, nothing we can do
Love must be forgotten, life can always start up anew.
The models will have children, we'll get a divorce
We'll find some more models, everything must run it's course.

We'll choke on our vomit and that will be the end
We were fated to pretend
To pretend
We're fated to pretend
To pretend
(lagu ini menjadi pengiring saat saya menulis)

Menjadi commuter, bisa membosankan, bisa yah menarik untuk dimanfaatkan.
Saya jelas tipe yang memanfaatkan.
Setiap harinya, saya bangun jam 5 pagi, menyiapkan pakaian kerja, mandi, berpakaian, naik ke kamar adik saya dan berteriak memanggil namanya minimal lima kali (baru turun setelah dia menyibak selimut dan matanya bertemu mata saya *tatapan saya mewakili kata-kata "cepat turun sekarang, atau saya terlambat dan kamu kena amukan")

Motor berjalan keluar dari kompleks, jalan raya, kampung, jalan raya lagi dan sampailah di stasiun.
Turun untuk mengantri beli tiket.
Berjalan ke arah "Ambung" (anak kecil, tukang koran langganan saya, menunggu kembalian dan berjalan ke tempat dimana saya selalu menunggu kereta datang.
Titik yang sama setiap harinya dan berdiri di samping orang yang sama dan berbeda.
Koran di tangan hanya menjadi aksesoris tambahan, karena saya akan membacanya di kantor.
Terlalu sayang melewatkan pemandangan "morning commute" ini untuk membaca koran.
Yang saya hapal, para commuter standar umumnya memegang koran, blackberry, ipod, atau bagi para wanita yg membawa dua tas, mereka sudah sibuk sendiri dengan barang bawaan atau sekedar merapikan pakaian dan rambut.

Masuk kereta berebutan, keluar kereta berebutan.
Artinya, semua orang semangat bekerja?
Salah! Mereka terbawa pola utama!
Terburu-buru melakukan segala sesuatunya tanpa mampu menikmati setiap detik yang berjalan dalam setiap hari, setiap perjalanan, setiap pengalaman.
Saya penikmat pemandangan itu.
Pemandangan orang-orang yang "fated to pretend" kata MGMT.
Berbincang, membaca dan bekerja diselesaikan dalam satu hembusan.
Terengah-engah dan menuntut jam tidur lebih atau bersungut-sungut mengaku hidup di Jakarta itu keras.

Saya bisa menghabiskan waktu berlama-lama di kereta hanya untuk memperhatikan detail kereta atau memandang ke bawah, ke tumpukan sandal dan sepatu atau menatap ke atas memperhatikan ekspresi lelah, bahagia, bengong dari commuter lain.

Dan tidak pernah ada kata membosankan.
Tidak ada kepura-puraan.

Pencinta Jakarta.