Monday, December 28, 2009

Hati Saya = Fotografer Sejarah

Saya menemukan fungsi hati yang lain. Menurut saya sistem kerja hati seperti fotografer terlatih, membidik dari angle-angle tertentu. Hati orang bijak dapat dipastikan menyasar angle yang bagus, yang menguntungkan bagi si objek sasaran kemudian mempublikasikannya sehingga harumlah nama objek sasaran. Maaf saya ralat, bukankah belum tentu bidikan ini bijak? Kadang si bijak hanya terlalu naïf. Kalau memang objeknya tidak harum di dalam tapi mampu menebar keharuman di hampir semua orang kecuali orang-orang suspicious seperti saya, maka terkecohlah hati si bijak.

Angle-angle ini diambil tergantung karakter si pemilik hati. Hati saya? Well, saya akui hati saya seringkali dan cepat sekali membidik segala sesuatu yang negative, merasakan yang negative, menyerapnya dalam-dalam, merembet mengesalkan orang lain, baru berpikir di kemudian bahwa itu masalah saya bukan orang, jadi sungguh tidak pantas melimpahkannya kepada orang lain, terutama mereka yang terdekat.

Ada juga hati yang bekerja seperti infotainment mencari cela yang bisa menjadi booming, itu saja bisanya. Ada juga hati yang datar, anglenya seperti yang diambil fotografer-fotografer untuk korporasi, hanya lurus sesuai jalur. Fotografer jurnalis mungkin bagai hati yang tertantang untuk selalu meneliti mana angle terbaik, tentu saja makna terbaik di sini subjektif. Bisa terbaik bagi penikmat atau terbaik mewakili idealisme si fotografer.

Kalau saya bisa memilih, saya prefer memiliki hati yang bekerja bak fotografer sejarah/buku biografi, menangkap momen kelam dan bahagia si objek sasaran. Supaya selalu saya menyadari, setiap manusia punya cerita. Cerita itu, kadang hitam putih, kadang abu-abu tak terselesaikan, atau emas menyilaukan dan membencikan mata saya. Saya harap hati saya tidak hanya mengabadikan momen-momen itu tapi merumuskan formula yang tepat bagi saya, agar teka-teki hidup saya terpecahkan. Kepala saya lelah berpikir, mungkin saatnya hati membantu 

Note:
Saat saya menulis ini, saya tidak riset dulu apakah ada fotografer sejarah, tapi pas coba2 browsing, si google malah ngasih opsi: Mungkin maksud Anda history of photography. Membuat saya semakin malas untuk riset lebih jauh, maaf semua!

Cita-cita

Setiap orang punya cita-cita dalam hidupnya, atau kalau tidak punya cita-cita mungkin tepatnya tujuan hidup..
sejak delapan tahun yang lalu entah mendapat dorongan dari mana namun gagasan untuk menjadi seorang penulis nampaknya begitu kuat.
sekarang aku mengikuti workshop demi workshop, menjadi freelance reporter untuk sebuah majalah di Aussie sana, dan masih terus haus untuk menulis yang lain...

Cerita di Balik Cubicle

Mana tahu partisi bisa berbisik. Awalnya memang mengusik tapi lama-kelamaan akan kehilangan makna saat bisik-bisik tiada. Saya hidup di ruang baru selama sembilan jam, lima hari dalam seminggu. Namanya cubicle. Jauh lebih nyaman dari yang sebelumnya. Disini terasa ada kehidupan baru bernafaskan kekeluargaan.

Untuk seseorang yang individualis-autis memang harus beradaptasi di awal tapi tidak perlu waktu lama, saya sudah lebih dulu menikmatinya. Menikmati orang-orang mondar-mandir di depan cubicle saya.

Tulisan ini menggambarkan kehidupan di dalam cubicle nyda. Pagi hari akan ada obrolan pagi yang semangat membahas ini itu, orang-orang tetap akan berseliweran, ada yang melempar senyum, ada yang berjalan sambil mengekspresikan kekesalan yang ditahan, ada yang menyapa sekedarnya, ada yang memberikan pekerjaan tambahan, ada yang menawarkan kue bolu. Semuanya indah. Tampil mewakili diri sendiri. Dan riuh ramai tawa bernada baritone di ujung koridor, segerombol bapak-bapak berbicara ala pria, tertawa ala pria. Membuat kerinduan akan tempat ini menyerbu, sebelum waktu berpisah ditentukan.

Menjelang siang akan ada perkumpulan makan siang lengkap dengan gossip siang ini. Saya tidak bergabung di dalamnya. Saya hanya bagian kecil dari semesta cubicle ini. Tapi tetap menyenangkan dan selalu begitu. Tawa indah berurai. Bahkan diskusi ricuh pun dapat berubah menjadi tawa dan senyum. Doa saya cuma satu, semoga bukan semu.

Bilangan Fu dan Saya. Ada Cinta.

Akhirnya sejak dua minggu lalu saya selesai membaca Bilangan Fu. Saya kecewa karena Parang Jati mati, karena kematiannya melegalkan nilai yang saya pegang. Bahwa nurani tidak punya suara di dunia nyata. Orang-orang yang mampu bertahan adalah orang-orang seperti Yuda yang skeptis dan sinis. Idealisme ala malaikat seperti Parang Jati hanya sebuah cara elegan untuk menyiksa diri lalu mati. Walaupun saya banyak belajar untuk menghormati sesama juga dari Parang Jati. Belajar teori abu-abu dan tidak ada hitam putih di dunia ini.

Senang sekali saat menemukan bahwa post-modernisme cukup mendapat tempat dalam novel ini. Karena sudah sejak enam bulan lalu atau bahkan lebih, sejak saya membaca buku-buku teori analisis wacana atau bahkan framing serta esai-esai nyinyir dari Om Seno dan Goenawan Mohammad, saya men-cap diri saya sebagai bagian dari “gank of post-modernism”. Pikiran-pikiran yang saya pegang selama ini seakan dijabarkan dengan gamblang dalam novel yang terbagi menjadi tiga bagian ini, yakni Modernisme, Monoteisme, dan Militerisme.

Apa yang saya pikirkan mengenai hubungan dengan Tuhan, kekuasaan, people I live with, and place I live in cukup mendapat tempat dalam novel tersebut.

Suatu hari saya pernah bilang pada teman saya bahwa saya benci orang-orang militer karena mereka menurut saya cenderung sewenang-wenang dengan kekuasaan. Otot mereka lebih besar dari otak mereka. Lalu teman saya bilang saya naïf, saya berpendapat begitu karena saya tidak atau belum berkuasa, katanya. Mungkin ada benarnya juga. Namun selesai membaca novel ini ada perasaan lain terhadap militer, ada empati. Berbeda dengan saat selesai membaca novel Om Seno (Jazz, Perfume, and…), saat itu saya mengumpat militer. Rasanya seperti dikhianati kekasih yang protektif.

Selesai membaca Bilangan Fu, saran saya nonton The Lucky Ones. Bagi Anda pengumpat militer mungkin akan mendapat sudut pandang baru. Bukankah kita begitu dekat dengan istilah “kesempatan kedua” setelah lahir ke dunia yang terkontaminasi?

Monday, November 16, 2009

You are...

Isilah titik-titik di atas!
You are what you eat
You are what you say
You are what you listen to
You are what you wear

Ada yang setuju?
Saya karnivora, pemakan daging sejati, tidak mengenal sayuran kecuali salad yang berlumur thousand island.

Saya mendengarkan musik dengan standar kualitas "nyda", kadang dengerin Drake, Kid Cudi, Lupe Fiasco dan teman-temannya. Tapi sering juga tergoda buat denger musik-musik easy listening macam RAN, Ello, atau Juniar Arief (kalo denger lagu mereka bisa sambil melatih olah vokal :p).
Selebihnya saya pencinta Tortured Soul, Phoenix, The Magic Numbers, Maliq and The Essentials, Mariah Carey (please jangan muntah baca nama ini), The Killers, Ingrid Michaelson, Ladyhawke, Daft Punk dll.

Apa yang saya pakai?
Baju-baju longgar cenderung kebesaran, skinny jeans, dan mostly rok.
Koleksi sepatu saya? Ada sepatu ala wanita karir berpletak-pletok mengintimidasi flat shoes dengan kombinasi warna hitam-putih serta belt kecil sebagai pemanis, sepatu kulit bertali hitam polos, flat shoes cokelat, wedges berwarna turqoise, sepatu bahan produksi Bali.
Aksesoris wajib: gelang dan jam tangan.
Warna yang mendominasi: cokelat, biru, hitam, putih.

Semoga deskripsi di atas cukup mewakili siapa saya.

Terkait ungkapan "you are what you eat", ada hal menarik yang mau saya bagi. Siang itu, saya menonton Oprah Winfrey show yang membahas Proposi 2 yang akan diberlakukan di California, isinya saya tidak terlalu mengerti tentang apa. Yang saya tangkap, proposi tersebut berisi aturan mengenai standar kandang untuk hewan ternak. Proposi tsb ditentang keras oleh para peternak California, pasalnya dengan standar kandang yang ditetapkan dalam proposi tsb, usaha ternak mereka akan bangkrut, mengingat kandang yang tadinya cukup untuk menampung 10 ayam kini hanya boleh untuk 5 ayam.

Perluasan kandang serta renovasinya jelas akan memakan biaya banyak, kata mereka. Namun Peternak Iowa sudah membuktikan bahwa standar dalam proposi tsb sangat mungkin untuk diterapkan dalam bisnis ternak, justru lebih efisien dalam hal biaya, karena mereka tidak perlu membangun kandang (hewan ternak dibiarkan bebas berkeliaran di padang rumput luas), tidak perlu memberi vitamin untuk pertumbuhan mengingat mereka telah mendapat pakan yang cukup dari alam.

Oprah juga memutarkan video kandang babi dan sapi yang ada di California. Reaksi saya? Tidak berperikebinatangan! Sapi dan babi yang hamil diberi kandang yang hanya pas untuk porsi tubuh mereka saja, tidak bisa berputar atau meregang-regangkan kaki dan punggung di kala pegal seperti yang kita (manusia) lakukan.

Begitu juga nasib yang menimpa hewan ternak lainnya. Saya menyimpulkan, pantas saja orang Amrik mudah sekali memutuskan untuk perang sana-sini, makanan yang dia konsumsi saja hasil penganiayaan.

Kalau dibandingkan dengan Indonesia, sebagian besar penduduk Indonesia cuma mampu beli tempe tahu, hasilnya? perang tidak maju tapi dibilang berperikebinatangan juga belum tentu. Lha wong, bukannya ga doyan sapi, cuma keadaan memaksa gigit jari melihat harga daging ayam, sapi, dan kambing terus melonjak.

Selama perjalanan tadi saya juga berpikir bahwa ungkapan "you are..." di atas berlaku untuk kalangan middle-up class saja.
Kalau orang tidak mampu, boro-boro memikirkan apa pakaian yang dikenakannya sudah merepresentasikan dirinya atau belum, untuk makan saja sulit...

Wednesday, November 11, 2009

Commuter

MGMT
Time To Pretend

I'm feeling rough, I'm feeling raw, I'm in the prime of my life.
Let's make some music, make some money, find some models for wives.
I'll move to Paris, shoot some heroin, and fuck with the stars.
You man the island and the cocaine and the elegant cars.

This is our decision, to live fast and die young.
We've got the vision, now let's have some fun.
Yeah, it's overwhelming, but what else can we do.
Get jobs in offices, and wake up for the morning commute.
Forget about our mothers and our friends
We're fated to pretend
To pretend
We're fated to pretend
To pretend

I'll miss the playgrounds and the animals and digging up worms
I'll miss the comfort of my mother and the weight of the world
I'll miss my sister, miss my father, miss my dog and my home
Yeah, I'll miss the boredom and the freedom and the time spent alone.

There's really nothing, nothing we can do
Love must be forgotten, life can always start up anew.
The models will have children, we'll get a divorce
We'll find some more models, everything must run it's course.

We'll choke on our vomit and that will be the end
We were fated to pretend
To pretend
We're fated to pretend
To pretend
(lagu ini menjadi pengiring saat saya menulis)

Menjadi commuter, bisa membosankan, bisa yah menarik untuk dimanfaatkan.
Saya jelas tipe yang memanfaatkan.
Setiap harinya, saya bangun jam 5 pagi, menyiapkan pakaian kerja, mandi, berpakaian, naik ke kamar adik saya dan berteriak memanggil namanya minimal lima kali (baru turun setelah dia menyibak selimut dan matanya bertemu mata saya *tatapan saya mewakili kata-kata "cepat turun sekarang, atau saya terlambat dan kamu kena amukan")

Motor berjalan keluar dari kompleks, jalan raya, kampung, jalan raya lagi dan sampailah di stasiun.
Turun untuk mengantri beli tiket.
Berjalan ke arah "Ambung" (anak kecil, tukang koran langganan saya, menunggu kembalian dan berjalan ke tempat dimana saya selalu menunggu kereta datang.
Titik yang sama setiap harinya dan berdiri di samping orang yang sama dan berbeda.
Koran di tangan hanya menjadi aksesoris tambahan, karena saya akan membacanya di kantor.
Terlalu sayang melewatkan pemandangan "morning commute" ini untuk membaca koran.
Yang saya hapal, para commuter standar umumnya memegang koran, blackberry, ipod, atau bagi para wanita yg membawa dua tas, mereka sudah sibuk sendiri dengan barang bawaan atau sekedar merapikan pakaian dan rambut.

Masuk kereta berebutan, keluar kereta berebutan.
Artinya, semua orang semangat bekerja?
Salah! Mereka terbawa pola utama!
Terburu-buru melakukan segala sesuatunya tanpa mampu menikmati setiap detik yang berjalan dalam setiap hari, setiap perjalanan, setiap pengalaman.
Saya penikmat pemandangan itu.
Pemandangan orang-orang yang "fated to pretend" kata MGMT.
Berbincang, membaca dan bekerja diselesaikan dalam satu hembusan.
Terengah-engah dan menuntut jam tidur lebih atau bersungut-sungut mengaku hidup di Jakarta itu keras.

Saya bisa menghabiskan waktu berlama-lama di kereta hanya untuk memperhatikan detail kereta atau memandang ke bawah, ke tumpukan sandal dan sepatu atau menatap ke atas memperhatikan ekspresi lelah, bahagia, bengong dari commuter lain.

Dan tidak pernah ada kata membosankan.
Tidak ada kepura-puraan.

Pencinta Jakarta.

Thursday, April 16, 2009

Orang-orang Kereta

Orang-orang Kereta
Saya pernah beberapa kali naik di gerbong yang sama, bertemu orang yang sama. Dan hanya sekali itu saja melihat ekspresi yang berbeda. Tertawa.

Umumnya orang-orang membaca koran, jarang ada drama dalam kereta, kecuali drama “si miskin”.
Dua tiket (Ekspres dan kelas ekonomi AC) ada banyak perbedaan, saya tahu. Fyi, saya sangat bangga menaiki transportasi tsb. Sebuah ide cemerlang saya rasa.

Orang-orang di kereta adalah orang-orang yang menghargai diri sendiri, waktu dan orang lain. Analisa saya karena mereka merasa nyaman berada dalam kereta, mereka jadi lebih manusiawi namun memang cenderung lebih kaku, seperti jalannya kereta yang lurus dalam jalur rel, bukan metromini yang salib kanan-kiri…heee
-pencinta kereta-
03/03/09

Bukankah Laki-laki Berpihak pada Wanita Baik-baik?

Bukankah Laki-laki Berpihak pada Wanita Baik-baik?

Bukankah kita semua dikenalkan sejak dini pada sosok baik-baik dan menderita? Putri Salju, Cinderella, Bawang Putih, dsb. Kenyataan juga mengajarkan pada kita, bahwa manusia banyak yang tidak mengambil keputusan sendiri karena itu bisa berarti fatalisme. Maka berlomba-lombalah semua wanita untuk menjadi baik-baik, supaya dipilih.

Mari samakan persepsi: wanita baik-baik di sini berarti wanita yang tidak mendebat, yang bisa menerima suatu statement tanpa banyak pertanyaan mengapa begini, mengapa begitu, wanita yang lurus-lurus saja, ngga mikir untuk nge-bom rumah tetangganya atau melakukan riset mengenai modus militer terhadap penculikan mahasiswa. Wanita yang penuh mengerti.

Itu sebabnya aku begitu pesimis, karena aku tidak berada dalam antrian “supaya dipilih” tersebut. Tidak menyenangkan rasanya mengetahui kita keluar jalur, namun tidak memiliki keinginan untuk kembali. Bukankah semua pria baik/jahat mencari “pelabuhan yang baik-baik” agar keturunan pun baik-baik dan hidup tenang, mereka yakini terjamin.
-bukan wanita baik-baik-
02/03/09

Apa Tugas Mereka?

Apa Tugas Mereka?

Hari pertama di bulan Maret jatuh pada hari Sabtu. Dan pagi ini aku terbangun sambil mengingat program TV yang aku tonton tadi malam. Kemudian bertanya-tanya apa job desc orang-orang di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Lembaga Sensor Indonesia. Seperti apa orang-orang yang bekerja disana? Karena tugas mereka pastinya keren sekali, menonton semua film-film versi original hasil karya anak bangsa, menganalisanya, mendiskusikannya, menyortirnya. Tapi kenapa sampai hari ini aku tidak tertarik dengan kotak bernama televisi itu?

Dulu aku punya ritual nonton hari Jumat, Sabtu, Minggu, nonton Oprah Winfrey Show di Metro TV. Sejak 7 bulan ini aku berhenti, pikiranku sedang berevolusi based on pengalaman, bahan bacaan, dan bertukar pikiran dengan orang lain, menurutku Oprah Show sudah tidak sejalan dengan idealisme-ku lagi. Terlalu naïf bahkan. Ritual akhir pekanku menjadi: baca Koran, nonton dvd, laundry stuff, catch-up with my family.

Kembali pada tugas KPI, apakah menarik lebih banyak orang untuk menonton TV juga menjadi salah satu tugas mereka? Lalu apa yang membuatku harus tertarik dengan talkshow yang dipandu oleh seorang host yang berbicara sesuai apa yang tertulis di laptop-nya sambil mengelus-elus kulit mulus wanita pendampingnya?
-bumi ini mengikuti nafsu-
01/03/09

Kehilangan, Milik Pribadi atau Bersama?

Kehilangan, Milik Pribadi atau Bersama?

Betapa complicated-nya menjadi manusia, atau lebih tepatnya betapa complicated-nya menjadi manusia seperti saya, membawa beban orang-orang dalam pundaknya yang rapuh dan bertonjolan tulang.

Kemarin saya mendengar dua kabar kehilangan. Pertama, kehilangan blackberry, kedua kehilangan nyawa. Saya memposisikan diri saya sebagai orang yang kehilangan tersebut. Hasilnya? Kehilangan tersebut menjadi bahan pikiran saya, menguak masa lalu saya. Mengurai arti kehilangan buat saya, kehilangan seorang ibu, satu adik dan soulmate. Itu adalah kehilangan terbesar sampai hari ini, kehilangan yang membuat luka dan proses healing masih berlangsung sampai sekarang. Betapa kehilangan yang tidak kita rancang sendiri begitu terasa sadis. Merenggut sekonyong-konyong. Saat kita kehilangan sesuatu, sering kali kita mengutuki even kadang mungkin peristiwa hilang itu mengingatkan kita pada keberadaan yang lain. Dan dengan kehilangan itu saya belajar sedikit kebahagiaan, kebahagiaan yang dulu begitu literal, sekarang lebih abstrak namun indah..
27/02/09

Pasangan

Pasangan

Pasti sering mendengar istilah soulmate! Masalahnya buat saya sekarang dari sekian banyak orang yang saya temui setiap harinya. Mm..kira-kira hampir..biar saya hitung, 4-5 anggota keluarga saya, 5 orang di angkot, satu orang bagian tiket, 20 orang di kereta, satu pemeriksa tiket, 12 orang di mikrolet, empat orang security dan 4-5 orang di lift, satu orang lagi security, 3-4 orang di kantor, dua office boy. Berarti 60 orang.

Enam puluh orang saya temui hingga senja menjelang. Bisa ditambah sekitar 50 orang lagi saat kepulangan. Setiap hari mulai Senin-Jumat, berarti selama seminggu kurang lebih saya bertemu 600 orang!! Tapi kenapa tidak ada satu pun di antaranya yang menjadi pasangan saya? Well, biar saya koreksi, mungkin kesalahan ada di pihak saya. Mungkin saya kurang menarik, mungkin juga saya selalu bermuka masam, tapi yang paling mungkin adalah saya selalu membaca buku selama perjalanan. Padahal mungkin di saat yang sama “soulmate” saya sedang CCP (Curi-Curi Pandang) tapi saya terlalu sibuk menatap sihir kata-kata. Bukankah setiap orang tidak “ngeh” dengan kesempatan yang begitu dekat? Atau terlalu takut dengan “kesempatan” itu sendiri? Karena kesempatan dekat dengan harapan, dan harapan bersahabat dengan kegagalan.

Tapi mencari pasangan memang bukan perkara window-shopping di mall, terlalu banyak filter yang manusia buat bagi sesamanya. Filter yang bertambah panjang seiring panjangnya usia dan kita seenaknya menyebut semua yang kita alami sebagai “pengalaman hidup” padahal banyak di antaranya hanya luka hati yang dengan sewajarnya kita biarkan tumbuh.

Pasangan tidak melulu yang melengkapi kita atau identik dengan kita. Pasangan buat saya, mmh apa ya? Well, jujur sampai hari ini pasangan buat saya adalah wadah sharing, tempat saya melampiaskan semangat yang meluap-luap atau mengalirkan cairan yang mengharu-biru, serta bank untuk segala atensi. Karena pastinya saya akan menuntut waktu, tenaga dan pikiran pasangan saya. Memaksa kedua mata, telinganya stand by 24 jam. Itu baru pasangan normal. Ada pasangan mulia yang memprioritaskan pengorbanan.

Saya sering kali merasa kesepian ini sudah akut, tapi usaha juga tiada menyembuhkan kadar akut itu, karena saya mulai jatuh cinta pada kesepian.

Pasangan seperti barang langka yang turun dari langit. Seperti kita yang merindukan kerlap-kerlip bintang namun terhalang cahaya lampu ciptaan kita sendiri. Atas nama protection, kita menghargai diri sendiri, sehingga tidak ada tempat bagi nama lain. Bahkan nama pasangan yang telah tertulis, tercipta untuk kita sejak 50.000 tahun lalu.
24/02/09

Bilangan Fu dan Saya. Ada Cinta.

Bilangan Fu dan Saya. Ada Cinta.

Akhirnya sejak dua minggu lalu saya selesai membaca Bilangan Fu. Saya kecewa karena Parang Jati mati, karena kematiannya melegalkan nilai yang saya pegang. Bahwa nurani tidak punya suara di dunia nyata. Orang-orang yang mampu bertahan adalah orang-orang seperti Yuda yang skeptis dan sinis. Idealisme ala malaikat seperti Parang Jati hanya sebuah cara elegan untuk menyiksa diri lalu mati. Walaupun saya banyak belajar untuk menghormati sesama juga dari Parang Jati. Belajar teori abu-abu dan tidak ada hitam putih di dunia ini.

Senang sekali saat menemukan bahwa postmodernisme cukup mendapat tempat dalam novel ini. Karena sudah sejak enam bulan lalu atau bahkan lebih, sejak saya membaca buku-buku teori analisis wacana atau bahkan framing serta esai-esai nyinyir dari Om Seno dan Goenawan Mohammad, saya men-cap diri saya sebagai bagian dari “gank of postmodernism”. Pikiran-pikiran yang saya pegang selama ini seakan dijabarkan dengan gamblang dalam novel yang terbagi menjadi tiga bagian ini, yakni Modernisme, Monoteisme, dan Militerisme.

Apa yang saya pikirkan mengenai hubungan dengan Tuhan, kekuasaan, people I live with, and place I live in.

Suatu hari saya pernah bilang pada teman saya bahwa saya benci orang-orang militer karena mereka menurut saya cenderung sewenang-wenang dengan kekuasaan. Otot mereka lebih besar dari otak mereka. Lalu teman saya bilang saya naïf, saya berpendapat begitu karena saya tidak atau belum berkuasa, katanya. Mungkin ada benarnya juga. Namun selesai membaca novel ini ada perasaan lain terhadap militer, ada empati. Berbeda dengan saat selesai membaca novel Om Seno (Jazz, Perfume, and…), saat itu saya mengumpat militer. Rasanya seperti dikhianati kekasih yang protektif.

Selesai membaca Bilangan Fu, saran saya nonton The Lucky Ones. Bagi Anda pengumpat militer mungkin akan mendapat sudut pandang baru. Bukankah kita begitu dekat dengan istilah “kesempatan kedua” setelah lahir ke dunia yang terkontaminasi.

21/02/09

Uang Memiliki Kenyataan

Uang Memiliki Kenyataan

Apa kalian pernah berpikir bahwa uang lebih memiliki tempat di dunia nyata dibandingkan dengan nurani kita? Pantas saja kalau nurani lebih mudah terenggut. Bayangkan manusia-manusia yang setiap harinya menghitung pengeluaran dan pemasukan. Mengejar lebih banyak rupiah untuk memperbesar “saving”. Setiap detiknya begitu. Lalu nurani yang haus akan kontemplasi terabaikan karena kebanyakan orang juga menilai orang lain dari materi bukan nurani. Belum terhitung dengan banyaknya ambisi untuk menjadi seorang intelektual yang ujung-ujungnya supaya bisa mendapat standar materi/fasilitas yang lebih tinggi. Coba kita survey berapa rupiah beda gaji lulusan S1 dan S2 lalu berapa mudah kedua title tersebut bersaing mendapatkan posisi di perusahaan-perusahaan bergengsi? Segelintir orang peduli nurani. Segelintir tempat untuk mereka di dunia nyata..

Note:
Catatan ini dibuat saat ayah saya masuk RS karena serangan stroke yang kedua dan saya yang banyak mengurus bagian administrasinya, uang itu mengalir dari tangan saya ke dunia nyata..diperebutkan
21/02/09

Subjek, Predikat, Objek, Keterangan (SPOK) – Pola Pikiran yang Terkontaminasi

Subjek, Predikat, Objek, Keterangan (SPOK) – Pola Pikiran yang Terkontaminasi

Mana yang lebih penting dalam sebuah kalimat? Predikat atau objek? Mana yang lebih dekat dan berpengaruh pada subjek (pelaku) di antara keduanya? Kalau kalimatnya begini: Saya menikah dengan X.
Apakah isu yang lebih kuat justru “saya menikah” atau “hubungan saya dengan X”?
Pagi ini saya berpikir yang lebih berpengaruh pada diri saya yaitu “saya menikah” yakni apa yang saya putuskan untuk dilakukan. Objeknya siapa, bagi saya pagi ini tidak terlalu penting.
Mari kita ambil contoh kalimat lain: “Saya bekerja di pemerintahan”. Mana yang lebih penting antara “saya bekerja” dengan “saya dengan pemerintahan”?
Menurut saya idealisme si subjek (pelaku) yang menentukan objek, sementara predikat umumnya bertebaran pada “values” yang sudah dipegang masyarakat. Values yang seringkali mendominasi pikiran dan perbuatan kita tanpa kita mampu lagi untuk membedakan apakah ini kemauan kita atau kontaminasi dari values-nya masyarakat?
Sejak ada orang lain hadir, sejak itu pikiran kita terkontaminasi.
21/02/09