Aku Siap Berhenti
Di sini hujan keras. Langit sakit keras dan awan menangis. Begitulah cerita dari kerajaan langit. Tapi di sini, di bumi. Bumi sakit keras karena tanah mongering. Saat langit sakit, bumi senang, karena tangisan awan akan membasahi tanahnya. Begitu pula mereka saling memahami, melengkapi.
Aku Cuma penghuni. Penghuni yang juga berusaha memahami penghuni lain. Setiap hari yang kudengar Cuma tangisan atau teriakan saja. Bagaimana aku bisa berbicara? Bagaimana aku bisa memahami isi hatinya?
Setiap malam aku resah menunggu kabar darinya. Lalu lagi-lagi yang kuterima hanya susunan kata-kata yang terbatas sebanyak 160 karakter, termasuk di dalamnya emoticon gambar wajah orang menangis.
Aku hanya penerima, penampung. Saat tengah malam atau bahkan dini hari ponselku bergetar menerima sms baru darinya. Kata-kata yang berbeda, namun kekecewaan yang sama.
Aku yakin besok, minggu depan atau tujuh tahun lagi aku akan masih tetap di sini menerima sms-nya karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Mengapa aku tetap bertahan dengan keadaan seperti ini? Karena hanya dia yang membuat aku tetap bertahan. Aku memang akan selalu bertahan untuknya. Demi sebuah senyuman yang mampu menghapus segala beban yang kutahan. Demi pancaran mata yang bertuliskan aku bahagia di dalamnya. Demi rasa kagum yang kupendam lama hanya untuknya.
Sikapnya tidak akan pernah kumengerti, karena berubah cepat. Terlalu cepat. Dia teramat dinamis. Lagi-lagi itulah yang melahirkan kekagumanku. Terkadang dia tersenyum dengan bibirnya namun matanya menangis. Terkadang hatinya lirih tangiskan lara namun matanya tersenyum. Tegar. Tetapi tidak jarang dia melarikan kesedihan dan air mata lewat kata-kata dan dikirimkannya tepat sasaran. Padaku.
Menurutku perempuan sepertinya tidak kekurangan sesuatu apapun. Orang tuanya perhatian dan saying padanya. Adik-adiknya juga dekat dengannya. Keluarganya sangat jarang ditemui pada zaman sekarang, keluarga harmonis. Dia juga punya beberapa teman yang cukup mengerti dirinya. Aku tahu pasti kalau dia lebih suka menyendiri, tetapi sebenarnya banyak teman yang akan menyambutnya hangat bila saja dia lebih memaklumi kurang lebih mereka.
Selain itu wajahnya lucu, semua akan selalu terhibur dengan kehadirannya. Tidak cantik memang, tapi lucu. Wajahnya bukan seperti pelawak tapi ekspresi wajahnya-lah yang menjadi daya tarik. Belum lagi kalau kau mendapatinya sedang pulas tertidur, kau akan terkejut, karena ada sebentuk malaikat di hadapanmu. Wajahnya polos. Damai.
Aku mengenalnya sudah sejak awal masuk sekolah dasar. Walaupun hanya bicara beberapa kali, aku langsung menyukainya. Ratusan kali aku menatapnya, tanpa dia sadari. Sampai saat ini pun dia tetap tidak sadar kalau aku sering menatapnya. Manatapnya lama sekali. Aku sampai hapal bagaimana saat dia tertawa, saat itu matanya akan mengecil dan tulang pipinya naik, selain itu barisan gigi kecilnya juga terlihat jelas. Atau saat dia menghiburku dengan wajah yang sengaja dibuat jelek, bibir dimonyongkan dan mata dibuat juling. Hmm, dia benar-banar tampak seperti ikan kelaparan. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana dia menangis, karena dia enggan melakukannya di hadapan orang lain.
Dua minggu yang lalu aku ke rumahnya, dia sedang tertidur di sofa depan. Aku sedih. Bukan karena dia tidur, malainkan karena aku sedang menatap butiran air menetes dari mata yang terkatup itu. Bahkan saat tidur pun dia harus bersedih. Menyimpan luka. Aku mengecup keningnya, lalu pergi. Barharap mimpi sedih yang menggulirkan air mata itu akan berakhir bahagia.
Dua hari yang lalu aku menerima sms darinya:
Aku menyusun kata namun kehilangan makna,
yang mampu bertahan lagi-lagi hanya luka.
Dan hati lumpuh kehilangan rasa.
Sender:
Trinita
+628087400952
Sent:
18-July-2005
02:45:45
Aku menangis. Tepat saat membaca baris terakhir dari sms-nya.
Tuhan, aku tidak ingin melihat perempuan ini terluka. Aku tidak ingin pencarian cintanya hanya membuat penderitaan baginya. Tolong aku, Tuhan. Aku bahkan tidak berani bermimpi untuk memilikinya. Aku takut kata kecewa itu justru semakin dalam Karena kehadiran cintaku.
Sms balasan dariku hanya sebuah kalimat penenangbukan ungkapan cinta. Walau sebenarnya ingin sekali aku berlari kesana, memeluknya erat, dan meminjamkan bahuku. Apa saja akan aku lakukan.
Seminggu lagi dia akan berulang tahun, aku sibuk mencari hadiah apa untuk sebuah kekaguman. Sepintas terlintas kembali wajah lucu itu. Wajah yang selama
Pertama, aku mengunjungi took perhiasan, aku rasa mahalnya barang akan menunjukkan kesungguhanku padanya. Tapi aku ragu saat memilih, setahuku dia tidak pernah menyukai aksesoris menempel di tubuhnya. Dia selalu tampil polos. Sederhana. Dia memang sudah istimewa apa adanya. Lalu aku pindah ke took bunga, harum yang alami menyeruak saat aku menarik napas. Segar. Bunga-bunga itu telah terbungkus dalam bingkisan cantik. Lagi-lagi aku ragu, aku yakin dia akan lebih suka kalau aku membawa pohon suplir dalam pot lengkap dengan sebungkus pupuk, karena dia lebih suka menumbuhkan tanaman daripada menikmati petikan bunga yang hanya akan bertahan beberapa hari untuk menyenangkan mata-mata egois manusia. Seperti dia lebih suka melihat kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaannya sendiri.
Kali ini aku memasuki took yang tepat, took buku. Aku tahu persis dia suka menulis, apalagi membaca. Obsesinya adalah membuat film dengan skenarionya sendiri. Lagi-lagi aku kagum. Aku mencari di bagian sastra, mencari sesuatu yang menarik. Kira-kira apa yang akan membuat matanya membelalak kaget dan penasaran ingin membaca. Aku memang bukan anak sastra dan kurang mengerti seni. Tapi aku pasti tahu apa yang dia suka. Samara-samar aku melihat cover buku yang melukiskan garis-garis wajah yang sering kulihat, Nicholas Saputra, idolanya. Lalu aku membaca judulnya Catatan seorang Demonstran “Soe Hok Gie”. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambilnya dari deretan anjang buku sastra lainnya. Lalu aku juga memilihkan sebuah buku elegan yang bisa dijadikan jurnal untuknya.
Tiba-tiba ponselku bergetar, perasaanku berubah menjadi tidak enak. Saat kubuka, ternyata isinya:
Teman-teman sangat diharapkan kehadirannya dalam pernikahan Aga & Trinita, di aula gedung PUSDIKLAT, Sabtu, 23 Juli 2005, pkl. 11.00-14.00 WIB. Trm kasih.
Sender:
Trinita
+628087400952
Sent:
19-July-2005
16:03:27
Aku kecewa. Dia bahkan tidak menyebut namaku di dalam undangannya. Pasti dia menggunakan fasilitas ponsel untuk mengirim pesan ke beberapa orang. Dia sama sekali tidak menganggapku sebagai orang yang special, orang yang selama ini selalu menerima pesannya, orang yang selalu berusaha menenangkannya dengan merangkai kata-kata, yang merupakan hal tersulit untuk dilakukan seorang teknisi seperti aku. Bahkan saat kekecewaan itu hadir, lagi-lagi aku sedang memikirkannya, memilih hadiah ulang tahun untuknya.
Kaget. Kecewa. Sedih. Marah. Semua jadi satu dalam alam pikiranku. Aku sadar, aku memang pengecut. Untuk mendapatkan kebahagiaanku saja aku masih harus berkalkulasi dengan perasaan. Takut dikecewakan. Takut ditolak. Takut kalau ternyata sudah ada cinta yang lain. Sekarang ketakutan terbesar itu justru harus aku hadapi sendiri. Kehilangan dia.
Aku tidak bisa menyalahkannya. Dimana salahnya bila dia tidak menyadari sepasang mata selalu mengaguminya. dimana salahnya bila dia sedang tertidur pulas saat aku diam-diam mengecup keningnya. Dimana salahnya bila dia tidak mendengar teriakan-teriakan hatiku yang selalu memujanya, mencintainya.
Aku tahu sekarang. Saat orang lain tidak mengerti apa yang kita rasakan, maka kitalah yang harus mengerti akan ketidakmengertian mereka.
Ternyata dia butuh penjelasan atas segala sikapku dan yang kulakukan adalah menyembunyikan penjelasan apapun.
Aku berjalan tegak ke arah kasir membayar buku-buku yang sudah kupilih. Mungin buku ini akan lebih berguna untukku. Untuk berhenti bersembunyi.