Thursday, July 31, 2008

Aku Siap Berhenti

Aku Siap Berhenti

Di sini hujan keras. Langit sakit keras dan awan menangis. Begitulah cerita dari kerajaan langit. Tapi di sini, di bumi. Bumi sakit keras karena tanah mongering. Saat langit sakit, bumi senang, karena tangisan awan akan membasahi tanahnya. Begitu pula mereka saling memahami, melengkapi.

Aku Cuma penghuni. Penghuni yang juga berusaha memahami penghuni lain. Setiap hari yang kudengar Cuma tangisan atau teriakan saja. Bagaimana aku bisa berbicara? Bagaimana aku bisa memahami isi hatinya?

Setiap malam aku resah menunggu kabar darinya. Lalu lagi-lagi yang kuterima hanya susunan kata-kata yang terbatas sebanyak 160 karakter, termasuk di dalamnya emoticon gambar wajah orang menangis. Ada apa sebenarnya, aku masih belum mengerti.

Aku hanya penerima, penampung. Saat tengah malam atau bahkan dini hari ponselku bergetar menerima sms baru darinya. Kata-kata yang berbeda, namun kekecewaan yang sama.

Aku yakin besok, minggu depan atau tujuh tahun lagi aku akan masih tetap di sini menerima sms-nya karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Mengapa aku tetap bertahan dengan keadaan seperti ini? Karena hanya dia yang membuat aku tetap bertahan. Aku memang akan selalu bertahan untuknya. Demi sebuah senyuman yang mampu menghapus segala beban yang kutahan. Demi pancaran mata yang bertuliskan aku bahagia di dalamnya. Demi rasa kagum yang kupendam lama hanya untuknya.

Sikapnya tidak akan pernah kumengerti, karena berubah cepat. Terlalu cepat. Dia teramat dinamis. Lagi-lagi itulah yang melahirkan kekagumanku. Terkadang dia tersenyum dengan bibirnya namun matanya menangis. Terkadang hatinya lirih tangiskan lara namun matanya tersenyum. Tegar. Tetapi tidak jarang dia melarikan kesedihan dan air mata lewat kata-kata dan dikirimkannya tepat sasaran. Padaku.

Menurutku perempuan sepertinya tidak kekurangan sesuatu apapun. Orang tuanya perhatian dan saying padanya. Adik-adiknya juga dekat dengannya. Keluarganya sangat jarang ditemui pada zaman sekarang, keluarga harmonis. Dia juga punya beberapa teman yang cukup mengerti dirinya. Aku tahu pasti kalau dia lebih suka menyendiri, tetapi sebenarnya banyak teman yang akan menyambutnya hangat bila saja dia lebih memaklumi kurang lebih mereka.

Selain itu wajahnya lucu, semua akan selalu terhibur dengan kehadirannya. Tidak cantik memang, tapi lucu. Wajahnya bukan seperti pelawak tapi ekspresi wajahnya-lah yang menjadi daya tarik. Belum lagi kalau kau mendapatinya sedang pulas tertidur, kau akan terkejut, karena ada sebentuk malaikat di hadapanmu. Wajahnya polos. Damai.

Aku mengenalnya sudah sejak awal masuk sekolah dasar. Walaupun hanya bicara beberapa kali, aku langsung menyukainya. Ratusan kali aku menatapnya, tanpa dia sadari. Sampai saat ini pun dia tetap tidak sadar kalau aku sering menatapnya. Manatapnya lama sekali. Aku sampai hapal bagaimana saat dia tertawa, saat itu matanya akan mengecil dan tulang pipinya naik, selain itu barisan gigi kecilnya juga terlihat jelas. Atau saat dia menghiburku dengan wajah yang sengaja dibuat jelek, bibir dimonyongkan dan mata dibuat juling. Hmm, dia benar-banar tampak seperti ikan kelaparan. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana dia menangis, karena dia enggan melakukannya di hadapan orang lain.

Dua minggu yang lalu aku ke rumahnya, dia sedang tertidur di sofa depan. Aku sedih. Bukan karena dia tidur, malainkan karena aku sedang menatap butiran air menetes dari mata yang terkatup itu. Bahkan saat tidur pun dia harus bersedih. Menyimpan luka. Aku mengecup keningnya, lalu pergi. Barharap mimpi sedih yang menggulirkan air mata itu akan berakhir bahagia.

Dua hari yang lalu aku menerima sms darinya:

Aku menyusun kata namun kehilangan makna,

yang mampu bertahan lagi-lagi hanya luka.

Dan hati lumpuh kehilangan rasa.

Sender:

Trinita

+628087400952

Sent:

18-July-2005

02:45:45

Aku menangis. Tepat saat membaca baris terakhir dari sms-nya.

Tuhan, aku tidak ingin melihat perempuan ini terluka. Aku tidak ingin pencarian cintanya hanya membuat penderitaan baginya. Tolong aku, Tuhan. Aku bahkan tidak berani bermimpi untuk memilikinya. Aku takut kata kecewa itu justru semakin dalam Karena kehadiran cintaku.

Sms balasan dariku hanya sebuah kalimat penenangbukan ungkapan cinta. Walau sebenarnya ingin sekali aku berlari kesana, memeluknya erat, dan meminjamkan bahuku. Apa saja akan aku lakukan.

Seminggu lagi dia akan berulang tahun, aku sibuk mencari hadiah apa untuk sebuah kekaguman. Sepintas terlintas kembali wajah lucu itu. Wajah yang selama lima belas tahun tidak pernah lepas dari ingatanku. Walaupun semakin dewasa wajahnya masih sama seperti dulu. Seperti pertama kali aku menatapnya.

Pertama, aku mengunjungi took perhiasan, aku rasa mahalnya barang akan menunjukkan kesungguhanku padanya. Tapi aku ragu saat memilih, setahuku dia tidak pernah menyukai aksesoris menempel di tubuhnya. Dia selalu tampil polos. Sederhana. Dia memang sudah istimewa apa adanya. Lalu aku pindah ke took bunga, harum yang alami menyeruak saat aku menarik napas. Segar. Bunga-bunga itu telah terbungkus dalam bingkisan cantik. Lagi-lagi aku ragu, aku yakin dia akan lebih suka kalau aku membawa pohon suplir dalam pot lengkap dengan sebungkus pupuk, karena dia lebih suka menumbuhkan tanaman daripada menikmati petikan bunga yang hanya akan bertahan beberapa hari untuk menyenangkan mata-mata egois manusia. Seperti dia lebih suka melihat kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaannya sendiri.

Kali ini aku memasuki took yang tepat, took buku. Aku tahu persis dia suka menulis, apalagi membaca. Obsesinya adalah membuat film dengan skenarionya sendiri. Lagi-lagi aku kagum. Aku mencari di bagian sastra, mencari sesuatu yang menarik. Kira-kira apa yang akan membuat matanya membelalak kaget dan penasaran ingin membaca. Aku memang bukan anak sastra dan kurang mengerti seni. Tapi aku pasti tahu apa yang dia suka. Samara-samar aku melihat cover buku yang melukiskan garis-garis wajah yang sering kulihat, Nicholas Saputra, idolanya. Lalu aku membaca judulnya Catatan seorang Demonstran “Soe Hok Gie”. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambilnya dari deretan anjang buku sastra lainnya. Lalu aku juga memilihkan sebuah buku elegan yang bisa dijadikan jurnal untuknya.

Tiba-tiba ponselku bergetar, perasaanku berubah menjadi tidak enak. Saat kubuka, ternyata isinya:

Teman-teman sangat diharapkan kehadirannya dalam pernikahan Aga & Trinita, di aula gedung PUSDIKLAT, Sabtu, 23 Juli 2005, pkl. 11.00-14.00 WIB. Trm kasih.

Sender:

Trinita

+628087400952

Sent:

19-July-2005

16:03:27

Aku kecewa. Dia bahkan tidak menyebut namaku di dalam undangannya. Pasti dia menggunakan fasilitas ponsel untuk mengirim pesan ke beberapa orang. Dia sama sekali tidak menganggapku sebagai orang yang special, orang yang selama ini selalu menerima pesannya, orang yang selalu berusaha menenangkannya dengan merangkai kata-kata, yang merupakan hal tersulit untuk dilakukan seorang teknisi seperti aku. Bahkan saat kekecewaan itu hadir, lagi-lagi aku sedang memikirkannya, memilih hadiah ulang tahun untuknya.

Kaget. Kecewa. Sedih. Marah. Semua jadi satu dalam alam pikiranku. Aku sadar, aku memang pengecut. Untuk mendapatkan kebahagiaanku saja aku masih harus berkalkulasi dengan perasaan. Takut dikecewakan. Takut ditolak. Takut kalau ternyata sudah ada cinta yang lain. Sekarang ketakutan terbesar itu justru harus aku hadapi sendiri. Kehilangan dia.

Aku tidak bisa menyalahkannya. Dimana salahnya bila dia tidak menyadari sepasang mata selalu mengaguminya. dimana salahnya bila dia sedang tertidur pulas saat aku diam-diam mengecup keningnya. Dimana salahnya bila dia tidak mendengar teriakan-teriakan hatiku yang selalu memujanya, mencintainya.

Aku tahu sekarang. Saat orang lain tidak mengerti apa yang kita rasakan, maka kitalah yang harus mengerti akan ketidakmengertian mereka.

Ternyata dia butuh penjelasan atas segala sikapku dan yang kulakukan adalah menyembunyikan penjelasan apapun.

Aku berjalan tegak ke arah kasir membayar buku-buku yang sudah kupilih. Mungin buku ini akan lebih berguna untukku. Untuk berhenti bersembunyi.

Ksatria Diplomatis

Ksatria Diplomatis

Aku masih sangat ingat dia berusaha untuk mempertahankan wajah diplomatisnya, terutama saat merasa terluka namun tidak ingin terlihat terluka, saat itu justru luka semakin terlihat jelas. Bibirnya mengatup rapat, menyembunyikan sederet barisan gigi putih bersih, kedua matanya membuka lebar memastikan pada lawan bicaranya bahwa tidak ada genangan air apapun di sana. Yakin akan mimic tegar yang ditatapnya berkali-kali di depan cermin. Lalu mengaitkan jari-jemarinya, duduk tegak dengan lutut sedikit terbuka. Menatapku lurus dalam jarak yang memisahkan.

Aku tersenyum dalam hati. Bila dia piker, dia adalah ksatria berkuda putih yang selalu siap menjemputku, yang selalu menjadi impian setiap wanita, dia salah. Aku yakin dia ksatria berkuda putih yang memiliki satu nyawa, yang tetap akan tergelincir bila kudanya mengarungi lautan, ksatria yang akan jatuh bila ada beribu panah api ditembakkan ke tubuhnya, sekaligus ksatria yang akan merelakan kudanya dinaiki nenek beserta cucunya yang miskin yang sedang berjalan jauh menuju sungai. Karena aku yakin dia adalah ksatria baik hati yang hanya manusia biasa. Ada saat di atas, ada saat di bawah. Bagiku ataupun dirinya.

Dan aku juga bukan wanita biasa. Aku adalah wanita yang merekam kehidupan. Aku adalah wanita ksatria. Jarang menunggu dijemput kuda putih. Aku memilih berjalan daripada menunggu lama. Tidak jarang aku menunggang kudaku sendiri. Mengumpulkan ranting sendiri.

Lama kelamaan hening beranjak. Aku tersenyum sambil menatapnya.

“Kamu cemburu, kan?” tanyaku menggodanya.

“Ngga…yah…itukan keputusan lo…hak lo…” jawabnya dingin.

Aku sudah sangat hapal dengan kebiasaannya ber-gue-elo saat gusar.

“Ya udah kalo gitu…ada yang masih mau dibicarakan?” tanyaku.

“Aku rasa ngga ada, lagian aku masih ada janji lain.” Nada bicaranya terburu-buru sambil bolak-balik memeriksa jam tangannya.

Hmm…orang angkuh, batinku.

Entah jurus apa lagi berikutnya, yang sudah sangat kuhapal, dialah yang akan pertama kali mengirim pesan, berpura-pura tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Jurus terjitu untuk tidak mengambil pusing masalah adalah lari dari masalah. Lari dari masalah salah satunya dengan berpura-pura masalah itu tidak pernah ada. Dan kita adalah tetap pasangan yang serasi.

Buat dia. Laki-laki kuat. Laki-laki melindungi. Perempuan rapuh. Perempuan dilindungi. Buat aku. Laki-laki kuat. Perempuan kuat. Laki-laki lemah. Perempuan lemah. Laki-laki, perempuan, sama. Hubungan laki-laki perempuan juga begitu, kadang kuat, kadang lemah, kadang harmonis, kadang berselisih. Sama seperti kehidupan itu sendiri yang kadang mulus, kadang juga berliku. Sama seperti cinta, kadang putih, kadang bernoda. Tidak ada yang sempurna.

Yang paling membuatku tidak nyaman adalah dia selalu berusaha menjadi pasangan yang sempurna. Sementara aku sangat percaya pada ketidaksempurnaan. Sesuatu yang sempurna seperti dia terasa tak nyata terkadang bagiku.

Tulalit. Tulalit. Satu pesan diterima.

Sender: Lover

Kamu lg dimana sekarang? =) How’s ur day?

Ya Tuhan…apa disini Cuma aku satu-satunya orang yang punya kesadaran penuh? Apa maksudnya “How’s ur day?” Apa dia lupa kalau kita habis berantem alias perang dingin siang tadi? Dan ini baru empat jam berlalu, yang artinya kalau memori ingatannya masih bagus seharusnya dia masih ingat bagaimana dia meninggalkan ruang tamu, dengan minuman yang belum tersentuh dan tanpa menatap lagi lalu keluar pintu. Meninggalkanku bengong dan bingung sendiri dengan apa yang barusan terjadi.

Aku tidak membalas pesan konyol tersebut. Apa dia mengharapkan aku membalas dengan isi: “Great day 4 me, km dimana? Udh mkn blm?” Nope! Aku ngga mau ambil bagian dalam melodrama ini! Kalau dia berpikir dengan logika. Aku bertindak dengan hati, berpikir dengan hati. Saat hatiku bilang ada yang tidak beres disini, maka itulah yang aku yakini, itulah realitanya. Kalau menurut logikanya, cara berpikirku rumit. Karena memang aku yakin, kehidupan pun rumit. Kalau dia piker aku mempersulit keadaan. Nope! Aku Cuma bersikap menerima kalau kehidupan itu rumit dan kita tidak akan selalu bahagia seperti dalam cerita-cerita, tetapi tidak juga selalu mengharu biru. Karena selalu ada jalan dan di saat sulit begini, aku yakin lebih baik bertatap muka dan menghadapi kepahitan daripada menelan bulat-bulat sesuatu yang sama sekali tidak kita suka.

Aku kecewa kenapa dia tidak menyalahkanku atau menanyakan alasan kenapa aku berbuat demikian. Kenapa dia memilih bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Karena kalau dia mau membuka mata, aku tidak butuh ksatria, aku butuh teman di saat senang atau menderita, itu juga kalau dia mau belajar dari permasalahan sekarang. Intinya aku tidak suka ksatria dengan strategi perangnya, dengan prinsip membunuh atau dibunuh, aku tidak menganggap berpikir dengan logika itu kekuatan ksatria, karena bisa jadi justru logika yang membunuh nuraninya. Lalu ksatria apa yang bertahan di medan perang tapi kehilangan nuraninya, seperti bagaimana dalam suatu scene di The Last Samurai. Seorang letnan Amerika yang terus terbayang-bayang saat pasukannya menyerang desa suku Indian tanpa kenal ampun.

Aku menyesal pernah ada perselisihan seperti ini, tapi aku yakin aku belajar sesuatu dari peristiwa ini. Seperti yang aku pernah bilang…semuanya akan kembali pada diri kita masing-masing, karena setiap orang punya persoalan dan kehidupannya sendiri-sendiri. Aku sebenarnya kecewa banget sama perilaku dan perlakuan bapak ksatria ini, tapi jadi belajar berempati juga. Belajar mengerti, belajar berpikir bagaimana cara berpikir orang, sudut pandang dia, keinginan dia, ambisi dia.

I quit. Aku telepon ksatria setelah dua minggu tidak ada kabar sama sekali. Dan dia bilang it’s over! Katanya dia sengaja tidak menghubungiku karena memang tidak mau terlalu dekat lagi, Karena dia mau pergi jauh. Aku kecewa banget…karena dia tidak menjelaskan apapun. Setidaknya memberi kabar tentang keputusan terakhirnya ini. Sering kali orang yang kita sayang tidak dapat membaca pikiran kita. Pikiran yang 24 jam hanya berputar tentang dia dan dunia di sekitarnya.

Mmh…you know what God? Sebenarnya aku selalu memimpikan kehidupan cinta para putri-putri, saat membaca kisah-kisah mereka aku Cuma ingat satu putri punya satu pangeran. Tapiii…kenapa berbeda sama kehidupan percintaan aku ya? Aku sudah berganti-ganti banyak cowok dan tidak tahu mana yang sebenarnya “pangeran” aku.

Aku mau komitmen sama satu orang sampai disahkan lembaga pernikahan, sampai melewati umur 30, 40, 50, 100, sampai punya anak dua atau tiga, sampai rambut kita memutih, sampai kita check-up ke rumah sakit bareng, sampai dia matiin TV pas aku ketiduran di sofa dan gendong aku ke kamar, sampai aku bisa merealisasikan menulis buku-ku sendiri suatu hari nanti, sampai aku bisa bikin film sendiri…sampai dia masangin gigi palsuku (eh, yang gigi palsu ngga jadi deh…aku mau gigi aku tetap utuh sampai oma-oma nanti ya Allah, please…) aku mau dia ada dalam setiap moment mulai hari ini dan selamanya, begitu juga aku untuk dia…

Sender: Ksatria-Jerman

Kalo suruh gambarin kamu dalam 3 kata *mikir dulu* hm…you are a marvel, unique n complicated ;) Bales dunk, kalo aku apa? 12:08 6-Jul-2006

Sender: Ksatria-Jerman

Alhamdulillah =) Yuhuuuw…aku senang banget! Aku berharap banget mudah-mudahan kita bs langgeng y, I’ll do my best… 23:23 6-Sept-2006

Aku membuka-buka lagi inbox ponselku. Pesan-pesan darinya memang sulit untuk dihapus begitu saja. Tapi yang begitu mengena adalah pesan terakhir darinya: That’s life! Tiga kata itu begitu menyakitkan, tiga kata yang sanggup membuat perjalanan dari Bintaro ke rumah selama 45 menit begitu panjang dan beruraian air mata. Air mata terakhir karena tidak ada yang lebih menyakitkan dari kata-kata tersebut.

Dua bulan kemudian.

Tilulit. Tilulit.

“Halo?” Aku.

“Mmh…ini aku.” Ksatria.

“Owh.” Aku.

“Aku mau pamit, besok aku sudah mulai dinas di Batam. Aku juga mau minta maaf kalau ada salah sama kamu. Kamu apa kabar?” Ksatria.

“Baik. Aku juga minta maaf. Kamu disana hati-hati ya…” Aku.

Ada yang mau aku omongin…” Ksatria.

“Apa?” Aku.

“Mmh…” Ksatria.

“Mm?” Aku.

“Ngga jadi…kamu istirahat aja ya, maaf yah malam-malam telepon. Jaga diri baik-baik yah…” Ksatria.

Klik.

Buat aku sesuatu yang tidak dikatakan, tidak akan tersampaikan.

Kisah Demokrasi dalam Demonstrasi

Kisah Demokrasi dalam Demonstrasi

Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Ini sudah tidak asing lagi tapi kalau Indonesia negara demonstrasi? Kenaikan BBM sejak 23 Mei 2008 lalu memicu demonstrasi-demonstrasi yang mewarnai Jakarta setiap harinya mulai dari Bundaran HI sampai Istana Negara, tujuannya satu, menolak kenaikan BBM.

Sedetik sebelum saya benar-benar berada dalam sebuah demonstrasi, saya yakin ada cara lain yang lebih baik, lebih efektif untuk menyuarakan sebuah aspirasi. Sampai akhirnya pada tanggal 21 Mei lalu saya mengalaminya sendiri, tepatnya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa cara lain tidak ada, mereka membuat cara baru, cara mereka sendiri untuk didengar di tengah-tengah gedung megah segitiga emas Jakarta. Kemudian saya membayangkan apa rasanya menatap para demonstran dari balik kaca, dari kenyamanan sejuknya air conditioner dan sofa empuk.

Saya melanjutkan long march bersama para demonstran, merasa bersyukur karena bukan lagi orang yang hanya bisa menyaksikan dari balik kaca, dari balik layar televisi, dari balik kenyamanan. Bersyukur karena turut turun ke jalan, berpartisipasi dan meng-apresiasi sebuah aspirasi, di bawah teriknya matahari, dalam suasana yang “membangkitkan”.

Siang terus berjalan dan para demonstran tetap tegak berdiri. Keinginan yang terus diteriakkan di tengah-tengah gedung-gedung tinggi, ribuan orang yang teriak di jalan bahkan tidak menganggu kenyamanan para socialite yang sedang menikmati lunch. Gambaran yang ironis dalam satu hari di Jakarta.

Long march terus berjalan, di Jl. M. Husni Thamrin, barisan depan melakukan aksi tidur di tengah jalan. Menurut saya ada kepuasan pribadi yang mereka rasakan. Kepuasan sebagai penguasa jalan, merasakan jalan milik sendiri dan dipandang semua orang, menjadi pusat perhatian. Ada kepuasan yang hanya bisa dirasakan bukan dilihat, bukan juga dibariskan dalam lisan kata. Terbakar matahari, suara habis, badan penuh, keringat, semua terbayar dengan kepuasan sebagai penguasa tadi.

Dalam demo siang ini, potret keramahan Indonesia tetap terasa antara pedagang asongan dengan pembeli, yang kebanyakan para demonstran, pemulung dengan para peminum, polisi dengan pendemo. Ternyata menyuarakan isi hati ngga harus ngotot. Saya memperhatikan komunikasi yang terdengar akrab antara polisi barisan depan yang berfungsi sebagai border line dan mahasiswa barisan depan. Mereka bertukar senyum. Namun saya yakin sedetik kemudian apabila terdengar sebuah komando dari masing-masing kubu maka mereka mampu saling membunuh.

Entah sebuah kebetulan atau apa, kaki ini mengantarkan saya pada sebuah demonstran, seorang bapak usia 40 tahun, warga Desa Suka Mulya, Kecamatan Rumpi, Bogor Barat, setelah ngobrol-ngobrol beberapa menit saya mengetahui pekerjaannya sebagai petani, anaknya 6 orang, yang paling besar masih duduk di bangku SMA berumur 19 tahun, paling kecil masih usia 4 tahun. Saat ditanyakan soal perasaan, beliau langsung bilang “senang”. Saat ditanya apakah ada rasa bangga, beliau juga berseru cepat “bangga”. Tidak ada banyak kata yang keluar dari mulut kering Pak Mukrie ini, beliau pun tidak cepat menangkap pertanyaan yang saya lontarkan, apalagi pada saat menjawabnya, entah karena tidak fokus atau memang kata-kata saya sulit ditangkap.

Namun begitu beliau lancar menceritakan kasus sengketa tanah di Bogor seluas 449 hektar, katanya Pak Mukrie ini juga pernah mendemokan kasus ini di depan gedung DPR tahun 2006 lalu. Sekarang kasus sengketa tanah ini sedang di-lobby dengan pihak DPR, bisakah Anda membayangkan seorang petani me-lobby DPR, apa yang akan mereka katakan? Saya membayangkan para pejabat ini akan bicara panjang lebar dengan istilah-istilah yang sulit dimengerti oleh para petani, tapi isi pembicaraannya tetap saja menguntungkan sebelah pihak, yaitu para pejabat tadi.

Ternyata Pak Mukrie termasuk warga Bogor yang aktif ikut demo, ditanya motivasinya apa, beliau bilang bangga saja sebagai rakyat bisa menyuarakan isi hati. “Anak istri saya di kampung juga tahu dan mendukung begitu juga dengan warga kampung saya, perwakilan dari kecamatan kami ada sekitar 35 orang,” ungkap Pak Mukrie.

Bila kita membayangkan ada “oknum” di balik semua ini, lalu coba tanya lebih jauh siapa oknum di balik Pak Mukri yang bersama-sama warga desanya berangkat jam 6 pagi dan stand by di bundaran HI sejak jam 9.30 WIB? Oknum yang ada di balik Pak Mukrie adalah anak istrinya dan segenap warga kecamatan Rumpi. Pak Mukrie tidak ikut bernyanyi bersama barisannya, tidak memakai kaos seragam seperti yang lainnya, beliau hanya mengenakan kemeja biru muda yang telah lusuh, celana bahan dan sepasang sandal. Saya selalu berjalan tidak jauh darinya, di belakangnya, dari samping barisan, atau mengamati samar-samar dari balik kerumunan. Saya tak melihatnya minum atau makan, atau ada orang lain yang menghampirinya memberi minuman botol seperti yang lain. Beliau hanya berjalan di pinggir barisan atau terkadang istirahat sejenak dan mengejar gerombolannya kembali. Saat mencapai istana saya kehilangan jejaknya, karena aliansi lain bergabung dari berbagai penjuru.

Beliau telah beberapa kali ikut demo namun belum ada hasil nyata. Pekerjaan sebagai petani pun ditinggal. “Ngga apa-apa untuk membela rakyat,”ungkapnya. Seperti yang selalu diajarkan guru-guru kita di sekolah, demokrasi adalah “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Selamat Pak Mukrie, Anda telah mengamalkan apa yang Anda pelajari!