Wednesday, January 27, 2010

“Pasaran, Taste-nya bagus, Ngga Level,” kata mereka

Banyak orang yang ingin membedakan diri dari orang lain. Contoh pertama adalah saya sendiri. Kedua, sepupu saya. Ketiga, teman lama yang tidak ingin dihubungi saya lagi. Mulai dari pilihan musik, buku bacaan, cara berpakaian dan selera-selera lainnya yang sekiranya mempengaruhi pandangan orang lain atau sesuai dengan nilai pribadi.

Dan pada akhirnya semuanya mulai memuakkan saya, ada apa dengan kesamaan selera atau katakan yang lebih ekstrim menganut budaya populer?

Saya tidak malu menyanyikan Pussy Cat Dolls yang “Stick with You” atau produk lokal macam Kahitna karena memang lagu itu sesuai dengan warna vokal saya, walaupun ratusan juta wanita Indonesia mungkin menjadi groupie-nya. Dan saya berani meneriakkannya keras-keras walaupun saat itu saya sedang ber-gothic style misalnya.

Nanti jangan-jangan lama-lama orang sudah tidak ada yang berbahasa Indonesia dengan baik dan benar lagi, alasannya, tidak mau berbicara dengan bahasa yang sama dengan 200 juta orang lainnya. Sudah sinting rupanya.

Ada ungkapan klise bahwa sejarah itu berulang, saya tetap tidak dapat menduga sejarah masehi ke-berapa yang pertama kali mengusung ide “berbeda” ini. Atau memang egoisme manusia itu sendiri yang me-leading mereka untuk berbuat dan berpikir demikian.

Yah, intinya, saya sudah tidak terlalu sensitive-lah kalau ada yang bilang saya seperti cewek kebanyakan, apa yang salah dengan cewek kebanyakan? Yang perlu dicermati lebih dalam sebenarnya bukan apa pakaiannya, bagaimana selera musiknya tapi nilai apa yang mereka anut hingga mereka memilih bergaya gothic, atau mengapa mereka menilai Jack Allsopp lebih seksi daripada Justin Timberlake.

Buat saya Jack Allsopp lebih seksi karena musiknya bikin saya bergoyang. Menggairahkan hidup saya yang delapan jam stand by di depan monitor HP 1740 