Friday, October 31, 2008

when I was junior-high

If I can turn back time
Recall every moment
Junior-high was something innocent.

Monday, October 27, 2008

Challenge!

Could you read my mind?
Last night I imagined me ten years later..
Nyda...a mom
Nyda...is having two children
Nyda...has published her own books
Nyda...in process of filming her books
Nyda...is standing in her own photo gallery and book store
Nyda...is still pursuing
Read my mind, what's next?

Don't Wanna Be with You!

I wanna see you and say good morning
But my coffee’s coming
And that’s it I forget you
From the first sip!
You don’t wanna know how my coffee tasted
Bitter!
But I love it better than you!

Sunday, October 26, 2008

Just Let Me Go

So much pain like the falling rain
Softly sound, tightly wound
Never go, I can't let go

I can't forget

Is it a new day
when memories start fade away
or beginning come through the way?

Long Distance

We are blue
In every clue
No idea when I see you
Just wanna call
say I need you..

Peramal

Membuka tiap lembaran buku jurnalku hanya akan kembali menyegarkan akan ingatan-ingatan saat susah. Entah kenapa dorongan menulis begitu besar saat sedang sedih. Tapi memang keadilan bukan manusia yang mengukur begitu pula kasih sayang yang kasat mata, begitu yang kusimpulkan setelah kembali membaca jurnal.
Suatu hari ada orang yang makan siang bersamaku, dia mengaku bisa membaca pikiran, dan dia bilang aku sedang “mendung” karena ada yang sedang dipikirkan. Aku berpikir kalau aku memasang muka tanpa senyum bukankah orang tanpa pengalaman pun akan langsung membaca bahwa aku sedang sedih?
Tapi yah, untungnya berikutnya, dia memberikan penjelasan panjang lebar tentang sesuatu yang memang sedang kupikirkan, mungkin benar dia bisa membaca pikiran. Sekalipun banyak orang yang menasehati, aku tetap tidak mengerti. Semuanya berawal dari kenapa. Kenapa orang harus menginjak ketenangan orang lain demi ketenangan pribadi? Kenapa orang selalu berpura-pura menjadi baik?

Friday, October 17, 2008

Sesaat di bioskop..

Sebuah film adaptasi novel memang bukan hal baru, tantangannya justru bagaimana mem-visualisasi-kan beratus-ratus halaman novel tersebut menjadi sajian dua jam di bioskop? Laskar Pelangi bisa dibilang berhasil mengadaptasi, novelnya bagus, filmnya menggugah!

Sutradara, produser, penulis script, dan para kru berhasil mengangkat kejadian-kejadian unik dalam novel secara acak dan merangkainya tetap dalam satu benang merah cerita. Mengenai sinopsis cerita dan kualitasnya mungkin Anda lebih tahu.

Namun yang menarik buat saya adalah para penonton Laskar Pelangi yang terhormat, semoga setiap penonton dapat memetik sedikit pelajaran, apalagi para penonton yang telah menikmati lebih dari satu kali. Baiknya kesadaran yang kembali pada diri masing-masing itu tersentil dan bukan hanya untuk menumbuhkan malu tapi juga sebentuk tindak nyata, seperti tidak membuang sampah sembarangan di dalam bioskop setelah menyaksikan film yang begitu edukatif atau menyerukan "ah itu kan cuma film". Dan aku maklum atas nama kebeliaan namun malu atas nama bangsa.
Mungkin memang sebuah bangsa terdiri atas penduduk yang pintar dan tidak terlalu pintar, sehingga ada sebagian yang menyerukan "ah itu kan cuma film" sementara sebagian lainnya menjadikan film itu sebuah teladan.
Tidak melulu menyerah pada realita, mengkhianati diri sendiri dengan lantang berseru "semua hal baik dan indah hanya terjadi di film" karena sesungguhnya diri yang khianat tersebut menjauhkan hal baik dan indah terjadi pada dunia nyata yang kita jalani.
Demikian agar menjadi pemikiran, tujuan dari eksistensi sebuah film bermutu.