Thursday, August 28, 2008

Review Film

INTO THE WILD
It’s a damn beautiful hit movie! What should I say?
Film Into the Wild, benar-benar menguak jati diri kita sebagai manusia, yang kadang malu dan kita sembunyikan, Chris sungguh-sungguh membuat malu segala urat jiwa yang ikut menyaksikan perjalanan hidupnya selama 2 tahun. Dalam dua tahun saja if u let life lead you, you will learn about love, being exist. Bayangkan jika anda menyelesaikan studi, dengan nilai hamper sempurna, meliki keluarga yang lengkap, kenikmatan hidup, lalu darimana datangnya pikiran-pikiran untuk lepas dari segala kemapanan yang ada, berhenti terbawa arus mayoritas yang membawa kita pada paradigma baru tentang materi, benda-benda, karir! Shit! Emang shit banget nih film, benar-benar menohok langsung ke hati yang paling dalam, dimana nilai-nilai kemanusiaan dijunjung setinggi-tingginya.
Inti dari kehidupan itu sendiri sebenarnya adalah menikmati hidup, namun apa yang terjadi ketika ternyata dunia memiliki aturannya sendiri yang membuat kita menjalankannya juga dalam hidup kita, menerapkannya setiap hari, dan meyakininya bahwa itulah hakikat hidup, padahal kesalahan besar yang kita lakukan. Apa rasanya menjalani dan meyakini sesuatu yang kita jalani, walau ada sedikit celah di hati yang tidak begitu sreg. Apakah kita akan mengikuti keyakinan yang bobotnya lebih besar atau memberi kesempatan pada celah hati yang sempit itu untuk membuktikan ‘kebenaran’?
Apa rasanya bergerak tanpa tahu tahu apa tujuan dari setiap gerakan kita? Apa rasanya merasakan sedih yang bukan milik kita? Merayakan kegembiraan yang bukan kegembiraan kita? Apa rasanya guys?
Mendapat kesempatan nonton film ini merupakan salah satu kesyukuran yang gue rasakan. Berhenti sejenak dari daily dan berpikir what you have achieved and what you gonna achieve (one of my man said).
Kehausan akan arti keberadaan kita dalam universe ini, kasih sayang yang akan selalu kita kenang, kadang kematian bukan yang kita takutkan, tapi meninggalkan kenangan-kenangan yang indah justru yang menahan kita, dan saat-saat merindukan adalah saat-saat yang paling kita takutkan.
Scene-scene yang paling booming buat gue adalah saat menyaksikan bahwa Chris bukan orang yang penakut, dia tidak mendapatkan apa yang dia mau dari keluarganya, dia merasa dikhianati, tapi yang dia tampilkan justru kasih sayang dan ketulusan berbagi bukan marah-marah atau complaint sana-sini. Dia berbagi cinta dengan sesama tanpa ada batasnya. Menyentuh hati setiap orang yang dia temui selama perjalanan dua tahunnya.
Ada sesuatu yang begitu dalam melubangi hati gue, di saat-saat terakhir Chris, sepertinya dunia atau bahkan gue tidak ingin dan tidak rela orang seeprti Chris harus meninggalkan dunia ini begitu cepat, dunia yang bukan hanya menjadi tempat tinggal baginya, melainkan bagian dari eksistensi sebuah nama Chris itu sendiri.
Lalu perasaan anda akan kembali dihantam, membayangkan orang-orang yang disayang dan menyayangi Chris, begitu merindukan setiap senyum yang dia umbar, membayangkannya dalam sebuah trailer, kesakitan, kelaparan keracunan makanan. He didn’t deserve it at any level!!! Shit!
Kenapa hanya ada satu Chris dari ratusan juta umat manusia? Fiuh…mellow deh gue..
Yang paling menyakitkan dalam hidup adalah apabila orang-orang yang kita sayang tidak diketahui keberadaannya, menderita tanpa kita bisa melakukan apapun untuknya. Kenyataan bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing begitu menyakitkan karena kenyataannya kita akan melakukan apa saja demi orang tersayang.
Menonton ini membuat kita menyesuaikan waktu, saat dimana Chris memulai perjalanan hidupnya adalah saat dimana gue menginjak usia 5-7 tahun, dimana arti kehidupan masih dalam awang-awang, masih dalam genggaman orang tua.
Well, guys petualangan Chris ternyata ngga berhenti sampai di trailer, perhentian terakhir dari petualangannya di Alaska, petualangan itu masih berjalan lewat gue, dan penonton-penonton lain yang ikut meneruskan apa yang dirasakan Chris. Menjadi manusia berguna ternyata bukan menjadi sesuatu yang kita rasa berguna atau penting karena ukuran apapun tidak akan pernah akurat, kita tidak akan pernah tahu definisi dari ‘manusia berguna’ itu tanpa kehadiran manusia lain. Happiness only real when shared (Christopher Mccandles) .

Nyda Aulia 28/08/2008

Sunday, August 24, 2008

Hisap Aku atau Kau yang Kuhisap!

Aku cuma memperhatikan saja, cukup memperhatikan saja dari jarak setengah meter. Tapi aku tahu aku sangat menginginkannya, seinginnya aku untuk bercinta. Aku sangat menginginkannya menyentuh bibirku dan bukan hanya menginginkan manis yang pernah kukecup, aku ingin merasakan batuk dan panasnya. Tanpa memberi waktu lebih lama lagi untuk berpikir, aku menyenggolnya.
“Buat gue, ya?” Kalimat ini sedari tadi telah kususun, namun hanya ini yang dengan sempurna keluar.
“Apaan sih?” tanyanya berbalik.
“Yang di tangan lo, buat gue ya, gue beli deh!” dengan paksa aku memintanya menyerahkannya.
“Rumah lo dimana sih?” pertanyaannya menjadi kurang masuk akal.
“Bumi Indah.” Singkat balasku.
“Bumi Indah Lama?”
“Bukan, di deket situ!”
Dengan sigap dia memindahkannya ke tanganku. Aku pun siap memegangnya, menerima agar jangan sampai jatuh dan secepat mungkin supaya sekiranya tidak ada orang lain yang melihat.
“Makasih banyak ya!” akhirnya aku berusaha terlihat normal, walaupun sebenarnya tanganku bergetar, mataku beredar di jendela menjauhi pandangan orang-orang.
“Yo, sorry ngga ada yang baru!” dia pun terdengar normal.
“Ngga apa-apa, makasih banget ya!”
Dia menengok ke arahku dan mataku tetap tidak lepas dari pemandangan di luar. Untuk sekedar memastikan, kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Semua juga tampak berusaha ‘normal’. Entah mereka menyadari atau tidak ‘transaksi’ yang baru saja berlangsung.
Aku tetap menggenggamnya di tanganku, tidak terlalu erat memang karena aku takut membuatnya patah. Susah payah aku mengumpulkan mental untuk mendapatkannya. Sakit!
Dia turun dari angkutan umum dan lagi-lagi aku mengucapkan terima kasih. Terlalu banyak memang. Lalu dengan sigap tanganku masuk ke dalam tas, dengan alibi mencari-cari uang buat bayar angkos, aku meletakkannya dengan aman di dompet kecil.
Tidak lama aku pun turun. Kali ini sambil memeras otak memikirkan bagaimana cara mendapatkan pasangannya. Setelah berpikir keras, akhirnya aku berhenti di depan warung dekat rumah, menunggu pelanggan yang lain. Aku sangat bersyukur yang melayani hanya seorang anak kecil, dia tidak mungkin akan berpikir macam-macam, pikirku.
“Satu aja, ya?” tanyanya ramah.
“Ya, makasih.”, jawabku sebisa mungkin menghindari pertanyaan lain yang mungkin timbul.
Kulangkahkan kakiku ringan sambil tersenyum dalam hati, akhirnya aku akan menikmatinya. Kututup pintu di belakangku, mencari-cari sosok yang pasti akan menghalangi. Kulihat Ayahku lelap tertidur, adik-adikku juga sedang sibuk main di kamar.
Dimana? Dimana? Sekarang. Harus sekarang. Tapi dimana? Otakku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Kuputuskan melakukannya di kamar mandi. Tentu saja dengan pertimbangan yang akan menguntungkan. Kubungkus keduanya dengan rapi. Kuselipkan di kantong belakang celana pendek jeans belel-ku. Perlahan namun pasti aku mulai memasukinya.
Di dalam segera kulucuti semua pakaianku, dengan maksud agar tidak ada bau yang menempel padanya. Pertama kubuka bungkusan, lalu seperti layaknya seorang professional kujepit diantara telunjuk dan jari tengahku. Kunyalakan korek namun karena tidak tahu caranya aku tidak menghisapnya dan rokok di tanganku pun mati. Aku tidak menyerah. Kali ini aku mulai mengikuti gaya para professional. Dan … berhasil! Kini bisa kurasakan ‘rasanya’ di tenggorokanku. Di paru-paruku. Dalam kematianku.
Aku terbatuk. Seperti yang kuharapkan. Terbatuk lagi. Tidak tahan lagi, kumatikan apinya. Bau asapnya memenuhi seisi kamar mandi. Masih kurasakan tembakau dalam lintingan itu. Ini agaknya akan mencurigakan orang rumah, buru-buru aku jebar-jebur mandi.

Saat melepas atau terlepas dari orang yang kita sayangi jauh dari kata sakit. Saat yang kau temukan cuma luka…aku merasakan bersalah yang amat sangat. Lalu cuma air mata yang menemani, mencoba mengerti aku. Saat benci hanya tertuju padaku. Allah …sayangku masih terlalu besar untuk dipatahkan. Bunga itu pun mati di musim semi. Pintaku cuma yang terbaik. Bahkan saat semua yang kurasa hanya luka. Itulah yang terbaik.
Aku kembali memikirkan kejadian tadi pagi. Ketika cinta yang belum berakhir terpaksa berakhir. Aku tidak mungkin melakukan ini. Merokok. Tapi aku telah kehilangan arah. Rokok adalah pelampiasan terbaik. Tak peduli seberapa bencinya aku pada perokok itu, pada asap itu. Sekarang aku juga merokok. Aku tidak menyesal.
Aku pun kecanduan rokok. Sepuluh tahun setelah itu, aku telah tumbuh menjadi perokok berat. Suamiku menceraikan aku, aku mandul. Aku sadar keluargaku subur, ini pasti rokok.
Menurut hasil diagnosa dokter, aku mengidap kanker paru-paru. Tidak ada orang lain yang tahu atau sekedar mau peduli. Karena mereka benci perokok. Karena aku telah menjanda dan mereka malu mengaku aku anak.
Aku sering berjalan-jalan sendiri saat petang. Menikmati saat-saat terakhir. Sama seperti saat ini, saat tiba-tiba seorang anak cacat berjalan terseok-seok berusaha menyamai langkahku.
“Minta sedekahnya, Bu, buat makan.” Pintanya.
“Ibu kamu mana?” tanyaku
“Mati. Kata orang-orang kebanyakan ngerokok, terus sakit jantung.” Jelasnya.
“Kaki kamu, kenapa? Kecelakaan?” lagi-lagi aku bertanya.
“Gara-gara ibu ngerokok terus bapak pergi, kita jadi miskin, kalo saya, udah dari lahir begini, ibu ngga bisa lepas dari rokok saat hamil katanya. Ibu yang bilang sendiri sambil nangis.” Wajah lugu itu bercerita tanpa rasa marah sama sekali, layaknya seorang ibu yang membacakan dongeng sebelum tidur untuk anaknya.
“Ibu kok jalan-jalan sendiri, anak ibu mana?” tanyanya polos.
DASAR ROKOK SIALAN!

Rokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, dan serangan jantung.

Wajah Usaha Rental Komputer di Indonesia

Wajah Usaha Rental Komputer di Indonesia

Berbeda dengan universitas-universitas di luar negeri yang memberikan fasilitas pemakaian komputer cuma-cuma yang mencukupi bagi para mahasiswanya, di Indonesia bisnis rental komputer justru menjamur.

Usaha rental komputer sudah tidak asing lagi di Indonesia, sebut saja di salah satu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syahid) Jakarta, sejak 10 tahun yang lalu sudah berkembang usaha rental komputer di universitas tersebut. Seorang pengelola yang hampir sepuluh tahun bergelut dalam bidang ini, Budi Setiawan, memulai dari empat komputernya, spesifik tipe komputernya juga masih 486, sejak kontrakan tempat masih seharga 1,3 juta rupiah per tahun hingga kini 6 juta rupiah per tahun. Saat pertama kali memulai bisnis rental komputer ini, masih sedikit yang membuka usaha rental. Rental komputer lain yang memulai usahanya bersama 10 tahun lalu pun kini sudah tidak ada, Agung Computer, yang dikelola Budi ini-lah yang satu-satunya bertahan.

Awalnya, Budi membuka usaha ini karena keinginannya untuk bisa mengoperasikan komputer, jadi sambil belajar, sambil bekerja sebagai pengelola rental komputer. Sampai kemudian akhirnya Budi bekerja di sebuah perusahaan asing sambil kuliah di jurusan manajemen administrasi komputer.

Namun setelah dua tahun bekerja di perusahaan asing, Budi kembali mengelola usaha rentalnya, untuk memajukan rental yang dikelolanya ini, selain dengan memperdalam ilmunya dengan kuliah di jurusan komputer, Budi juga menomersatukan servis bagi pelanggan, kedua, hasil juga harus memuaskan, dulu harga print Rp 500,- per lembar sekarang disesuaikan dengan yang lain Rp 350,- per lembar.

Dulu ada perkumpulan rental komputer namanya GADYAKOM khusus kampus UIN Syahid. Setiap pertemuan menghasilkan kesepakatan harga, harga kertas, tinta, sementara sekarang semua menaikkan dan menurunkan harga sesuka-suka.

Menurunkan harga Rp 500,- menjadi Rp 350,- pun sudah dikalkulasi matang-matang sebelumnya, karena itu selain rental computer, jasa pengetikan dan biaya print juga dapat menambah pemasukan selain itu ada juga pemasukan tambahan dari jual beli komputer serta servis komputer.

Menurut Budi, dalam setiap usaha maintenance itu penting, tapi dalam usaha rental ini banyak cara-cara yang bisa dilakukan dan kecekatan pengelola berperan besar di dalamnya. Budi Setiawan adalah salah satu contoh pengelola yang mampu meng-handle semua masalah di rental-nya, mulai dari servis, virus sampai kerusakan-kerusakan lainnya juga fasilitas bagi kepuasan para pelanggan mulai dari lantai berkarpet, kipas angin dan musik untuk hiburan.
Agung Computer buka dari jam 6 pagi dan tutup tergantung situasi pelanggan. Saat ramai pelanggan kadang rental baru tutup jam 11 malam. Pengelola harus pintar-pintar membaca situasi anak kampus. Namun umumnya setelah magrib kampus sudah mulai sepi, yang penuh justru rental-rental di dekat tempat kos.

Saat musim liburan kampus, rental tetap buka karena ada juga pelanggan yang umum atau dari kampus lain, kecuali tanggal merah, lebaran, atau hari Minggu. Saat-saat panen rental adalah pada waktu musim ujian, pemasukannya bisa 2-3 kali lipat dari hari-hari biasa.
Usaha rental komputer memang memiliki prospek bagus bila lokasinya strategis, salah satunya di dekat kampus, karena banyak mahasiswa yang punya komputer tapi tidak punya printer, jadi print di rental, ada juga yang tidak bisa mengedit ketikannya lalu meminta jasa edit di rental, ada juga yang punya komputer tapi malas mengetik sehingga menggunakan jasa pengetikan di rental. Semakin dekat dengan kampus berarti semakin hidup usaha sebuah rental komputer.
Budi, sang pengelola, juga pernah survey ke UI di Depok dan Universitas Mercu Buana di Ciledug, harga print-nya sama. Perbedaan harga justru bukan terjadi karena perbedaan kampus melainkan lokasi rental, kalau biaya rental atau print di dekat kampus memang murah tapi kalau rental-rental yang jauh dari kampus harganya bisa tiga kali lipat lebih mahal karena diperuntukkan bagi masyarakat umum.

Maju atau tidaknya sebuah rental itu tergantung pengelolanya, kalau pengelola cekatan, paham dengan kondisi komputer, paham dengan berbagai karakter pelanggan, ramah dengan pelanggan, bisa meng-handle saat ada virus atau trouble dengan komputer maka semua itu menjadi indikasi tingkat kepuasan pelanggan.

Friday, August 15, 2008

Review Ciao Italia!

Review Ciao Italia!

Pendapat saya tentang Italia sebelum membaca buku ini adalah sebuah negara yang penuh drama bukan hanya karena kekejaman para Mafioso-nya tetapi juga kisah percintaan para penghuninya. Sebelumnya saya pernah membaca sebuah buku berjudul La Cucina, background-nya Italia, tokohnya seorang gadis asal Sicilia. Dari buku tersebutlah saya tahu sedikit banyak tentang Italia, namun mayoritas dari sisi kuliner-nya. Maka benar-lah adanya istilah la dolce vita dalam buku Ciao Italia ini, orang Italia memiliki gaya hidup sendiri, yang penuh kesenangan dan kemewahan, sama seperti dalam buku La Cucina.

Sebelum membaca Ciao Italia, yang saya kagumi dari negeri ini adalah fashion-nya, namun ternyata ada banyak hal yang dapat dikagumi dari negeri ini. Seolah-olah negeri ini benar-benar mengerti bagaimana cara menjalani hidup dan memanfaatkannya.

Kekaguman saya berawal saat membaca bagian “When in Rome…”, saya seakan terbawa melintas di zona Trastevere, membayangkan keindahan Roma yang terbelah sungai. Belum lagi membayangkan diri memandang panorama Roma dari rooftop museum militer sambil ngopi atau menikmati kehidupan ala slow city di Orvieto serta menikmati keindahan Venezia sambil naik gondola.

Setelah membaca buku ini Italia buat saya adalah sebuah keajaiban dunia itu sendiri, mulai dari bangunan-bangunan antiknya, cita rasa makanannya, cara berpikir penghuninya, semuanya terangkum meninggalkan kesan tersendiri bagi para pengunjungnya. Jelas buat saya pribadi, setelah membaca buku ini, salah satu dalam list must to do in my lifetime adalah menantikan dan berusaha mencari peluang untuk membuktikan tempat-tempat istimewa yang tertulis dalam buku ini dengan mata kepala sendiri, seperti ber-passeggiata di piazza ala Italians sambil makan gelato. Hmmmh…

Italia dalam buku ini jelas tempatnya bersenang-senang, tempat makan sebanyak-nya, memanjakan mata dengan panoramanya, berpesta setiap malam, ngopi-ngopi sepuasnya, juga menikmati musik jazz di Umbria!

Namun, apa yang paling berkesan buat saya saat membaca Ciao Italia ada dua, pertama Naples dan kedua ide Slow Food dan Slow City. Well, kalau diminta memilih satu, saya pilih ide Slow Food dan Slow City. Alasannya kenapa? Pertama karena ide ini begitu brilian, sesuai dengan definisi “menikmati hidup” ala saya. Hidup dimana yang menjadi prioritas adalah kenyamanan itu sendiri, bukan kenyamanan yang diukur dari segi materi tapi kenyamanan dalam bentuk mengekspresikan diri, berbagi kepedulian dengan sesama, mencari esensi dari eksistensi kita hidup di dunia. Bukankah hidup ini terlalu indah untuk sekedar dilewatkan dengan rutinitas mengejar materi?

Well, at last, sukses selalu dan terima kasih untuk sang penulis, Gama Harjono, karena telah berbagi dengan saya tentang keunikan Italia dalam buku ini! Thanks for every detail you share!