Thursday, April 16, 2009

Orang-orang Kereta

Orang-orang Kereta
Saya pernah beberapa kali naik di gerbong yang sama, bertemu orang yang sama. Dan hanya sekali itu saja melihat ekspresi yang berbeda. Tertawa.

Umumnya orang-orang membaca koran, jarang ada drama dalam kereta, kecuali drama “si miskin”.
Dua tiket (Ekspres dan kelas ekonomi AC) ada banyak perbedaan, saya tahu. Fyi, saya sangat bangga menaiki transportasi tsb. Sebuah ide cemerlang saya rasa.

Orang-orang di kereta adalah orang-orang yang menghargai diri sendiri, waktu dan orang lain. Analisa saya karena mereka merasa nyaman berada dalam kereta, mereka jadi lebih manusiawi namun memang cenderung lebih kaku, seperti jalannya kereta yang lurus dalam jalur rel, bukan metromini yang salib kanan-kiri…heee
-pencinta kereta-
03/03/09

Bukankah Laki-laki Berpihak pada Wanita Baik-baik?

Bukankah Laki-laki Berpihak pada Wanita Baik-baik?

Bukankah kita semua dikenalkan sejak dini pada sosok baik-baik dan menderita? Putri Salju, Cinderella, Bawang Putih, dsb. Kenyataan juga mengajarkan pada kita, bahwa manusia banyak yang tidak mengambil keputusan sendiri karena itu bisa berarti fatalisme. Maka berlomba-lombalah semua wanita untuk menjadi baik-baik, supaya dipilih.

Mari samakan persepsi: wanita baik-baik di sini berarti wanita yang tidak mendebat, yang bisa menerima suatu statement tanpa banyak pertanyaan mengapa begini, mengapa begitu, wanita yang lurus-lurus saja, ngga mikir untuk nge-bom rumah tetangganya atau melakukan riset mengenai modus militer terhadap penculikan mahasiswa. Wanita yang penuh mengerti.

Itu sebabnya aku begitu pesimis, karena aku tidak berada dalam antrian “supaya dipilih” tersebut. Tidak menyenangkan rasanya mengetahui kita keluar jalur, namun tidak memiliki keinginan untuk kembali. Bukankah semua pria baik/jahat mencari “pelabuhan yang baik-baik” agar keturunan pun baik-baik dan hidup tenang, mereka yakini terjamin.
-bukan wanita baik-baik-
02/03/09

Apa Tugas Mereka?

Apa Tugas Mereka?

Hari pertama di bulan Maret jatuh pada hari Sabtu. Dan pagi ini aku terbangun sambil mengingat program TV yang aku tonton tadi malam. Kemudian bertanya-tanya apa job desc orang-orang di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Lembaga Sensor Indonesia. Seperti apa orang-orang yang bekerja disana? Karena tugas mereka pastinya keren sekali, menonton semua film-film versi original hasil karya anak bangsa, menganalisanya, mendiskusikannya, menyortirnya. Tapi kenapa sampai hari ini aku tidak tertarik dengan kotak bernama televisi itu?

Dulu aku punya ritual nonton hari Jumat, Sabtu, Minggu, nonton Oprah Winfrey Show di Metro TV. Sejak 7 bulan ini aku berhenti, pikiranku sedang berevolusi based on pengalaman, bahan bacaan, dan bertukar pikiran dengan orang lain, menurutku Oprah Show sudah tidak sejalan dengan idealisme-ku lagi. Terlalu naïf bahkan. Ritual akhir pekanku menjadi: baca Koran, nonton dvd, laundry stuff, catch-up with my family.

Kembali pada tugas KPI, apakah menarik lebih banyak orang untuk menonton TV juga menjadi salah satu tugas mereka? Lalu apa yang membuatku harus tertarik dengan talkshow yang dipandu oleh seorang host yang berbicara sesuai apa yang tertulis di laptop-nya sambil mengelus-elus kulit mulus wanita pendampingnya?
-bumi ini mengikuti nafsu-
01/03/09

Kehilangan, Milik Pribadi atau Bersama?

Kehilangan, Milik Pribadi atau Bersama?

Betapa complicated-nya menjadi manusia, atau lebih tepatnya betapa complicated-nya menjadi manusia seperti saya, membawa beban orang-orang dalam pundaknya yang rapuh dan bertonjolan tulang.

Kemarin saya mendengar dua kabar kehilangan. Pertama, kehilangan blackberry, kedua kehilangan nyawa. Saya memposisikan diri saya sebagai orang yang kehilangan tersebut. Hasilnya? Kehilangan tersebut menjadi bahan pikiran saya, menguak masa lalu saya. Mengurai arti kehilangan buat saya, kehilangan seorang ibu, satu adik dan soulmate. Itu adalah kehilangan terbesar sampai hari ini, kehilangan yang membuat luka dan proses healing masih berlangsung sampai sekarang. Betapa kehilangan yang tidak kita rancang sendiri begitu terasa sadis. Merenggut sekonyong-konyong. Saat kita kehilangan sesuatu, sering kali kita mengutuki even kadang mungkin peristiwa hilang itu mengingatkan kita pada keberadaan yang lain. Dan dengan kehilangan itu saya belajar sedikit kebahagiaan, kebahagiaan yang dulu begitu literal, sekarang lebih abstrak namun indah..
27/02/09

Pasangan

Pasangan

Pasti sering mendengar istilah soulmate! Masalahnya buat saya sekarang dari sekian banyak orang yang saya temui setiap harinya. Mm..kira-kira hampir..biar saya hitung, 4-5 anggota keluarga saya, 5 orang di angkot, satu orang bagian tiket, 20 orang di kereta, satu pemeriksa tiket, 12 orang di mikrolet, empat orang security dan 4-5 orang di lift, satu orang lagi security, 3-4 orang di kantor, dua office boy. Berarti 60 orang.

Enam puluh orang saya temui hingga senja menjelang. Bisa ditambah sekitar 50 orang lagi saat kepulangan. Setiap hari mulai Senin-Jumat, berarti selama seminggu kurang lebih saya bertemu 600 orang!! Tapi kenapa tidak ada satu pun di antaranya yang menjadi pasangan saya? Well, biar saya koreksi, mungkin kesalahan ada di pihak saya. Mungkin saya kurang menarik, mungkin juga saya selalu bermuka masam, tapi yang paling mungkin adalah saya selalu membaca buku selama perjalanan. Padahal mungkin di saat yang sama “soulmate” saya sedang CCP (Curi-Curi Pandang) tapi saya terlalu sibuk menatap sihir kata-kata. Bukankah setiap orang tidak “ngeh” dengan kesempatan yang begitu dekat? Atau terlalu takut dengan “kesempatan” itu sendiri? Karena kesempatan dekat dengan harapan, dan harapan bersahabat dengan kegagalan.

Tapi mencari pasangan memang bukan perkara window-shopping di mall, terlalu banyak filter yang manusia buat bagi sesamanya. Filter yang bertambah panjang seiring panjangnya usia dan kita seenaknya menyebut semua yang kita alami sebagai “pengalaman hidup” padahal banyak di antaranya hanya luka hati yang dengan sewajarnya kita biarkan tumbuh.

Pasangan tidak melulu yang melengkapi kita atau identik dengan kita. Pasangan buat saya, mmh apa ya? Well, jujur sampai hari ini pasangan buat saya adalah wadah sharing, tempat saya melampiaskan semangat yang meluap-luap atau mengalirkan cairan yang mengharu-biru, serta bank untuk segala atensi. Karena pastinya saya akan menuntut waktu, tenaga dan pikiran pasangan saya. Memaksa kedua mata, telinganya stand by 24 jam. Itu baru pasangan normal. Ada pasangan mulia yang memprioritaskan pengorbanan.

Saya sering kali merasa kesepian ini sudah akut, tapi usaha juga tiada menyembuhkan kadar akut itu, karena saya mulai jatuh cinta pada kesepian.

Pasangan seperti barang langka yang turun dari langit. Seperti kita yang merindukan kerlap-kerlip bintang namun terhalang cahaya lampu ciptaan kita sendiri. Atas nama protection, kita menghargai diri sendiri, sehingga tidak ada tempat bagi nama lain. Bahkan nama pasangan yang telah tertulis, tercipta untuk kita sejak 50.000 tahun lalu.
24/02/09

Bilangan Fu dan Saya. Ada Cinta.

Bilangan Fu dan Saya. Ada Cinta.

Akhirnya sejak dua minggu lalu saya selesai membaca Bilangan Fu. Saya kecewa karena Parang Jati mati, karena kematiannya melegalkan nilai yang saya pegang. Bahwa nurani tidak punya suara di dunia nyata. Orang-orang yang mampu bertahan adalah orang-orang seperti Yuda yang skeptis dan sinis. Idealisme ala malaikat seperti Parang Jati hanya sebuah cara elegan untuk menyiksa diri lalu mati. Walaupun saya banyak belajar untuk menghormati sesama juga dari Parang Jati. Belajar teori abu-abu dan tidak ada hitam putih di dunia ini.

Senang sekali saat menemukan bahwa postmodernisme cukup mendapat tempat dalam novel ini. Karena sudah sejak enam bulan lalu atau bahkan lebih, sejak saya membaca buku-buku teori analisis wacana atau bahkan framing serta esai-esai nyinyir dari Om Seno dan Goenawan Mohammad, saya men-cap diri saya sebagai bagian dari “gank of postmodernism”. Pikiran-pikiran yang saya pegang selama ini seakan dijabarkan dengan gamblang dalam novel yang terbagi menjadi tiga bagian ini, yakni Modernisme, Monoteisme, dan Militerisme.

Apa yang saya pikirkan mengenai hubungan dengan Tuhan, kekuasaan, people I live with, and place I live in.

Suatu hari saya pernah bilang pada teman saya bahwa saya benci orang-orang militer karena mereka menurut saya cenderung sewenang-wenang dengan kekuasaan. Otot mereka lebih besar dari otak mereka. Lalu teman saya bilang saya naïf, saya berpendapat begitu karena saya tidak atau belum berkuasa, katanya. Mungkin ada benarnya juga. Namun selesai membaca novel ini ada perasaan lain terhadap militer, ada empati. Berbeda dengan saat selesai membaca novel Om Seno (Jazz, Perfume, and…), saat itu saya mengumpat militer. Rasanya seperti dikhianati kekasih yang protektif.

Selesai membaca Bilangan Fu, saran saya nonton The Lucky Ones. Bagi Anda pengumpat militer mungkin akan mendapat sudut pandang baru. Bukankah kita begitu dekat dengan istilah “kesempatan kedua” setelah lahir ke dunia yang terkontaminasi.

21/02/09

Uang Memiliki Kenyataan

Uang Memiliki Kenyataan

Apa kalian pernah berpikir bahwa uang lebih memiliki tempat di dunia nyata dibandingkan dengan nurani kita? Pantas saja kalau nurani lebih mudah terenggut. Bayangkan manusia-manusia yang setiap harinya menghitung pengeluaran dan pemasukan. Mengejar lebih banyak rupiah untuk memperbesar “saving”. Setiap detiknya begitu. Lalu nurani yang haus akan kontemplasi terabaikan karena kebanyakan orang juga menilai orang lain dari materi bukan nurani. Belum terhitung dengan banyaknya ambisi untuk menjadi seorang intelektual yang ujung-ujungnya supaya bisa mendapat standar materi/fasilitas yang lebih tinggi. Coba kita survey berapa rupiah beda gaji lulusan S1 dan S2 lalu berapa mudah kedua title tersebut bersaing mendapatkan posisi di perusahaan-perusahaan bergengsi? Segelintir orang peduli nurani. Segelintir tempat untuk mereka di dunia nyata..

Note:
Catatan ini dibuat saat ayah saya masuk RS karena serangan stroke yang kedua dan saya yang banyak mengurus bagian administrasinya, uang itu mengalir dari tangan saya ke dunia nyata..diperebutkan
21/02/09

Subjek, Predikat, Objek, Keterangan (SPOK) – Pola Pikiran yang Terkontaminasi

Subjek, Predikat, Objek, Keterangan (SPOK) – Pola Pikiran yang Terkontaminasi

Mana yang lebih penting dalam sebuah kalimat? Predikat atau objek? Mana yang lebih dekat dan berpengaruh pada subjek (pelaku) di antara keduanya? Kalau kalimatnya begini: Saya menikah dengan X.
Apakah isu yang lebih kuat justru “saya menikah” atau “hubungan saya dengan X”?
Pagi ini saya berpikir yang lebih berpengaruh pada diri saya yaitu “saya menikah” yakni apa yang saya putuskan untuk dilakukan. Objeknya siapa, bagi saya pagi ini tidak terlalu penting.
Mari kita ambil contoh kalimat lain: “Saya bekerja di pemerintahan”. Mana yang lebih penting antara “saya bekerja” dengan “saya dengan pemerintahan”?
Menurut saya idealisme si subjek (pelaku) yang menentukan objek, sementara predikat umumnya bertebaran pada “values” yang sudah dipegang masyarakat. Values yang seringkali mendominasi pikiran dan perbuatan kita tanpa kita mampu lagi untuk membedakan apakah ini kemauan kita atau kontaminasi dari values-nya masyarakat?
Sejak ada orang lain hadir, sejak itu pikiran kita terkontaminasi.
21/02/09