Friday, October 31, 2008

when I was junior-high

If I can turn back time
Recall every moment
Junior-high was something innocent.

Monday, October 27, 2008

Challenge!

Could you read my mind?
Last night I imagined me ten years later..
Nyda...a mom
Nyda...is having two children
Nyda...has published her own books
Nyda...in process of filming her books
Nyda...is standing in her own photo gallery and book store
Nyda...is still pursuing
Read my mind, what's next?

Don't Wanna Be with You!

I wanna see you and say good morning
But my coffee’s coming
And that’s it I forget you
From the first sip!
You don’t wanna know how my coffee tasted
Bitter!
But I love it better than you!

Sunday, October 26, 2008

Just Let Me Go

So much pain like the falling rain
Softly sound, tightly wound
Never go, I can't let go

I can't forget

Is it a new day
when memories start fade away
or beginning come through the way?

Long Distance

We are blue
In every clue
No idea when I see you
Just wanna call
say I need you..

Peramal

Membuka tiap lembaran buku jurnalku hanya akan kembali menyegarkan akan ingatan-ingatan saat susah. Entah kenapa dorongan menulis begitu besar saat sedang sedih. Tapi memang keadilan bukan manusia yang mengukur begitu pula kasih sayang yang kasat mata, begitu yang kusimpulkan setelah kembali membaca jurnal.
Suatu hari ada orang yang makan siang bersamaku, dia mengaku bisa membaca pikiran, dan dia bilang aku sedang “mendung” karena ada yang sedang dipikirkan. Aku berpikir kalau aku memasang muka tanpa senyum bukankah orang tanpa pengalaman pun akan langsung membaca bahwa aku sedang sedih?
Tapi yah, untungnya berikutnya, dia memberikan penjelasan panjang lebar tentang sesuatu yang memang sedang kupikirkan, mungkin benar dia bisa membaca pikiran. Sekalipun banyak orang yang menasehati, aku tetap tidak mengerti. Semuanya berawal dari kenapa. Kenapa orang harus menginjak ketenangan orang lain demi ketenangan pribadi? Kenapa orang selalu berpura-pura menjadi baik?

Friday, October 17, 2008

Sesaat di bioskop..

Sebuah film adaptasi novel memang bukan hal baru, tantangannya justru bagaimana mem-visualisasi-kan beratus-ratus halaman novel tersebut menjadi sajian dua jam di bioskop? Laskar Pelangi bisa dibilang berhasil mengadaptasi, novelnya bagus, filmnya menggugah!

Sutradara, produser, penulis script, dan para kru berhasil mengangkat kejadian-kejadian unik dalam novel secara acak dan merangkainya tetap dalam satu benang merah cerita. Mengenai sinopsis cerita dan kualitasnya mungkin Anda lebih tahu.

Namun yang menarik buat saya adalah para penonton Laskar Pelangi yang terhormat, semoga setiap penonton dapat memetik sedikit pelajaran, apalagi para penonton yang telah menikmati lebih dari satu kali. Baiknya kesadaran yang kembali pada diri masing-masing itu tersentil dan bukan hanya untuk menumbuhkan malu tapi juga sebentuk tindak nyata, seperti tidak membuang sampah sembarangan di dalam bioskop setelah menyaksikan film yang begitu edukatif atau menyerukan "ah itu kan cuma film". Dan aku maklum atas nama kebeliaan namun malu atas nama bangsa.
Mungkin memang sebuah bangsa terdiri atas penduduk yang pintar dan tidak terlalu pintar, sehingga ada sebagian yang menyerukan "ah itu kan cuma film" sementara sebagian lainnya menjadikan film itu sebuah teladan.
Tidak melulu menyerah pada realita, mengkhianati diri sendiri dengan lantang berseru "semua hal baik dan indah hanya terjadi di film" karena sesungguhnya diri yang khianat tersebut menjauhkan hal baik dan indah terjadi pada dunia nyata yang kita jalani.
Demikian agar menjadi pemikiran, tujuan dari eksistensi sebuah film bermutu.

Thursday, September 18, 2008

Sepatah Dua Patah

Segala sesuatu yang kita paksakan memang tidak pernah mengenakkan, hanya menyesakkan.
Saat itu diri kita terpecah2 antara ingin menjadi orang yang baik dan mengerti orang lain atau orang jahat dan mengerti diri sendiri.
Aku buat term seperti itu karena di sini, di lingkungan-ku, nilai seperti itu yang dijunjung tinggi.
Nilai yang berslogan keadilan tapi penuh penindasan!
Ada orang yang berani dan pengecut kata seseorang, dia punya definisi sendiri, aku juga punya. Berdasar pengalamanku sekarang, aku orang yang pengecut.
Aku tidak berteriak keras membela diri.
Aku membenci kaum oportunis, tapi kini aku ingin sekali menjadi seperti mereka, berada di tengah2 bukan meyakini sesuatu yang penuh pro dan kontra.
Aku ingin sekali hidup tenang...tapi ternyata definisi hidup tenang sekarang adalah meyakini kita paling benar dan menginjak-injak ketenangan orang lain.
Aku selalu cinta kedamaian bukan kedamaian yang penuh senyum dan pikiran picik di dalamnya, tapi kedamaian hidup menyendiri dalam hutan, bermain air sungai, dan bangun menginjak embun rumput dalam setiap pelarian.
Bila tiba waktuku nanti, aku tahu orang2 akan mencari arti hidupku, meneliti setiap buku yang kutulis dengan nama berganti namun rasa yang sama.
Rasa yang menjunjung tinggi nilai2 nurani bukan materi.
Someone ever called me 'naive' and I am proud of that.
At least, I have belief in this world, that there are some places, human, hearts, that put me first. Look me deep.
Belief that I should stand for, struggle with tears and open heart to accept the way I am.
I have a right to hate, to hate someone who tries me to be 'normal'.

Thursday, August 28, 2008

Review Film

INTO THE WILD
It’s a damn beautiful hit movie! What should I say?
Film Into the Wild, benar-benar menguak jati diri kita sebagai manusia, yang kadang malu dan kita sembunyikan, Chris sungguh-sungguh membuat malu segala urat jiwa yang ikut menyaksikan perjalanan hidupnya selama 2 tahun. Dalam dua tahun saja if u let life lead you, you will learn about love, being exist. Bayangkan jika anda menyelesaikan studi, dengan nilai hamper sempurna, meliki keluarga yang lengkap, kenikmatan hidup, lalu darimana datangnya pikiran-pikiran untuk lepas dari segala kemapanan yang ada, berhenti terbawa arus mayoritas yang membawa kita pada paradigma baru tentang materi, benda-benda, karir! Shit! Emang shit banget nih film, benar-benar menohok langsung ke hati yang paling dalam, dimana nilai-nilai kemanusiaan dijunjung setinggi-tingginya.
Inti dari kehidupan itu sendiri sebenarnya adalah menikmati hidup, namun apa yang terjadi ketika ternyata dunia memiliki aturannya sendiri yang membuat kita menjalankannya juga dalam hidup kita, menerapkannya setiap hari, dan meyakininya bahwa itulah hakikat hidup, padahal kesalahan besar yang kita lakukan. Apa rasanya menjalani dan meyakini sesuatu yang kita jalani, walau ada sedikit celah di hati yang tidak begitu sreg. Apakah kita akan mengikuti keyakinan yang bobotnya lebih besar atau memberi kesempatan pada celah hati yang sempit itu untuk membuktikan ‘kebenaran’?
Apa rasanya bergerak tanpa tahu tahu apa tujuan dari setiap gerakan kita? Apa rasanya merasakan sedih yang bukan milik kita? Merayakan kegembiraan yang bukan kegembiraan kita? Apa rasanya guys?
Mendapat kesempatan nonton film ini merupakan salah satu kesyukuran yang gue rasakan. Berhenti sejenak dari daily dan berpikir what you have achieved and what you gonna achieve (one of my man said).
Kehausan akan arti keberadaan kita dalam universe ini, kasih sayang yang akan selalu kita kenang, kadang kematian bukan yang kita takutkan, tapi meninggalkan kenangan-kenangan yang indah justru yang menahan kita, dan saat-saat merindukan adalah saat-saat yang paling kita takutkan.
Scene-scene yang paling booming buat gue adalah saat menyaksikan bahwa Chris bukan orang yang penakut, dia tidak mendapatkan apa yang dia mau dari keluarganya, dia merasa dikhianati, tapi yang dia tampilkan justru kasih sayang dan ketulusan berbagi bukan marah-marah atau complaint sana-sini. Dia berbagi cinta dengan sesama tanpa ada batasnya. Menyentuh hati setiap orang yang dia temui selama perjalanan dua tahunnya.
Ada sesuatu yang begitu dalam melubangi hati gue, di saat-saat terakhir Chris, sepertinya dunia atau bahkan gue tidak ingin dan tidak rela orang seeprti Chris harus meninggalkan dunia ini begitu cepat, dunia yang bukan hanya menjadi tempat tinggal baginya, melainkan bagian dari eksistensi sebuah nama Chris itu sendiri.
Lalu perasaan anda akan kembali dihantam, membayangkan orang-orang yang disayang dan menyayangi Chris, begitu merindukan setiap senyum yang dia umbar, membayangkannya dalam sebuah trailer, kesakitan, kelaparan keracunan makanan. He didn’t deserve it at any level!!! Shit!
Kenapa hanya ada satu Chris dari ratusan juta umat manusia? Fiuh…mellow deh gue..
Yang paling menyakitkan dalam hidup adalah apabila orang-orang yang kita sayang tidak diketahui keberadaannya, menderita tanpa kita bisa melakukan apapun untuknya. Kenyataan bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing begitu menyakitkan karena kenyataannya kita akan melakukan apa saja demi orang tersayang.
Menonton ini membuat kita menyesuaikan waktu, saat dimana Chris memulai perjalanan hidupnya adalah saat dimana gue menginjak usia 5-7 tahun, dimana arti kehidupan masih dalam awang-awang, masih dalam genggaman orang tua.
Well, guys petualangan Chris ternyata ngga berhenti sampai di trailer, perhentian terakhir dari petualangannya di Alaska, petualangan itu masih berjalan lewat gue, dan penonton-penonton lain yang ikut meneruskan apa yang dirasakan Chris. Menjadi manusia berguna ternyata bukan menjadi sesuatu yang kita rasa berguna atau penting karena ukuran apapun tidak akan pernah akurat, kita tidak akan pernah tahu definisi dari ‘manusia berguna’ itu tanpa kehadiran manusia lain. Happiness only real when shared (Christopher Mccandles) .

Nyda Aulia 28/08/2008

Sunday, August 24, 2008

Hisap Aku atau Kau yang Kuhisap!

Aku cuma memperhatikan saja, cukup memperhatikan saja dari jarak setengah meter. Tapi aku tahu aku sangat menginginkannya, seinginnya aku untuk bercinta. Aku sangat menginginkannya menyentuh bibirku dan bukan hanya menginginkan manis yang pernah kukecup, aku ingin merasakan batuk dan panasnya. Tanpa memberi waktu lebih lama lagi untuk berpikir, aku menyenggolnya.
“Buat gue, ya?” Kalimat ini sedari tadi telah kususun, namun hanya ini yang dengan sempurna keluar.
“Apaan sih?” tanyanya berbalik.
“Yang di tangan lo, buat gue ya, gue beli deh!” dengan paksa aku memintanya menyerahkannya.
“Rumah lo dimana sih?” pertanyaannya menjadi kurang masuk akal.
“Bumi Indah.” Singkat balasku.
“Bumi Indah Lama?”
“Bukan, di deket situ!”
Dengan sigap dia memindahkannya ke tanganku. Aku pun siap memegangnya, menerima agar jangan sampai jatuh dan secepat mungkin supaya sekiranya tidak ada orang lain yang melihat.
“Makasih banyak ya!” akhirnya aku berusaha terlihat normal, walaupun sebenarnya tanganku bergetar, mataku beredar di jendela menjauhi pandangan orang-orang.
“Yo, sorry ngga ada yang baru!” dia pun terdengar normal.
“Ngga apa-apa, makasih banget ya!”
Dia menengok ke arahku dan mataku tetap tidak lepas dari pemandangan di luar. Untuk sekedar memastikan, kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Semua juga tampak berusaha ‘normal’. Entah mereka menyadari atau tidak ‘transaksi’ yang baru saja berlangsung.
Aku tetap menggenggamnya di tanganku, tidak terlalu erat memang karena aku takut membuatnya patah. Susah payah aku mengumpulkan mental untuk mendapatkannya. Sakit!
Dia turun dari angkutan umum dan lagi-lagi aku mengucapkan terima kasih. Terlalu banyak memang. Lalu dengan sigap tanganku masuk ke dalam tas, dengan alibi mencari-cari uang buat bayar angkos, aku meletakkannya dengan aman di dompet kecil.
Tidak lama aku pun turun. Kali ini sambil memeras otak memikirkan bagaimana cara mendapatkan pasangannya. Setelah berpikir keras, akhirnya aku berhenti di depan warung dekat rumah, menunggu pelanggan yang lain. Aku sangat bersyukur yang melayani hanya seorang anak kecil, dia tidak mungkin akan berpikir macam-macam, pikirku.
“Satu aja, ya?” tanyanya ramah.
“Ya, makasih.”, jawabku sebisa mungkin menghindari pertanyaan lain yang mungkin timbul.
Kulangkahkan kakiku ringan sambil tersenyum dalam hati, akhirnya aku akan menikmatinya. Kututup pintu di belakangku, mencari-cari sosok yang pasti akan menghalangi. Kulihat Ayahku lelap tertidur, adik-adikku juga sedang sibuk main di kamar.
Dimana? Dimana? Sekarang. Harus sekarang. Tapi dimana? Otakku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Kuputuskan melakukannya di kamar mandi. Tentu saja dengan pertimbangan yang akan menguntungkan. Kubungkus keduanya dengan rapi. Kuselipkan di kantong belakang celana pendek jeans belel-ku. Perlahan namun pasti aku mulai memasukinya.
Di dalam segera kulucuti semua pakaianku, dengan maksud agar tidak ada bau yang menempel padanya. Pertama kubuka bungkusan, lalu seperti layaknya seorang professional kujepit diantara telunjuk dan jari tengahku. Kunyalakan korek namun karena tidak tahu caranya aku tidak menghisapnya dan rokok di tanganku pun mati. Aku tidak menyerah. Kali ini aku mulai mengikuti gaya para professional. Dan … berhasil! Kini bisa kurasakan ‘rasanya’ di tenggorokanku. Di paru-paruku. Dalam kematianku.
Aku terbatuk. Seperti yang kuharapkan. Terbatuk lagi. Tidak tahan lagi, kumatikan apinya. Bau asapnya memenuhi seisi kamar mandi. Masih kurasakan tembakau dalam lintingan itu. Ini agaknya akan mencurigakan orang rumah, buru-buru aku jebar-jebur mandi.

Saat melepas atau terlepas dari orang yang kita sayangi jauh dari kata sakit. Saat yang kau temukan cuma luka…aku merasakan bersalah yang amat sangat. Lalu cuma air mata yang menemani, mencoba mengerti aku. Saat benci hanya tertuju padaku. Allah …sayangku masih terlalu besar untuk dipatahkan. Bunga itu pun mati di musim semi. Pintaku cuma yang terbaik. Bahkan saat semua yang kurasa hanya luka. Itulah yang terbaik.
Aku kembali memikirkan kejadian tadi pagi. Ketika cinta yang belum berakhir terpaksa berakhir. Aku tidak mungkin melakukan ini. Merokok. Tapi aku telah kehilangan arah. Rokok adalah pelampiasan terbaik. Tak peduli seberapa bencinya aku pada perokok itu, pada asap itu. Sekarang aku juga merokok. Aku tidak menyesal.
Aku pun kecanduan rokok. Sepuluh tahun setelah itu, aku telah tumbuh menjadi perokok berat. Suamiku menceraikan aku, aku mandul. Aku sadar keluargaku subur, ini pasti rokok.
Menurut hasil diagnosa dokter, aku mengidap kanker paru-paru. Tidak ada orang lain yang tahu atau sekedar mau peduli. Karena mereka benci perokok. Karena aku telah menjanda dan mereka malu mengaku aku anak.
Aku sering berjalan-jalan sendiri saat petang. Menikmati saat-saat terakhir. Sama seperti saat ini, saat tiba-tiba seorang anak cacat berjalan terseok-seok berusaha menyamai langkahku.
“Minta sedekahnya, Bu, buat makan.” Pintanya.
“Ibu kamu mana?” tanyaku
“Mati. Kata orang-orang kebanyakan ngerokok, terus sakit jantung.” Jelasnya.
“Kaki kamu, kenapa? Kecelakaan?” lagi-lagi aku bertanya.
“Gara-gara ibu ngerokok terus bapak pergi, kita jadi miskin, kalo saya, udah dari lahir begini, ibu ngga bisa lepas dari rokok saat hamil katanya. Ibu yang bilang sendiri sambil nangis.” Wajah lugu itu bercerita tanpa rasa marah sama sekali, layaknya seorang ibu yang membacakan dongeng sebelum tidur untuk anaknya.
“Ibu kok jalan-jalan sendiri, anak ibu mana?” tanyanya polos.
DASAR ROKOK SIALAN!

Rokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, dan serangan jantung.

Wajah Usaha Rental Komputer di Indonesia

Wajah Usaha Rental Komputer di Indonesia

Berbeda dengan universitas-universitas di luar negeri yang memberikan fasilitas pemakaian komputer cuma-cuma yang mencukupi bagi para mahasiswanya, di Indonesia bisnis rental komputer justru menjamur.

Usaha rental komputer sudah tidak asing lagi di Indonesia, sebut saja di salah satu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syahid) Jakarta, sejak 10 tahun yang lalu sudah berkembang usaha rental komputer di universitas tersebut. Seorang pengelola yang hampir sepuluh tahun bergelut dalam bidang ini, Budi Setiawan, memulai dari empat komputernya, spesifik tipe komputernya juga masih 486, sejak kontrakan tempat masih seharga 1,3 juta rupiah per tahun hingga kini 6 juta rupiah per tahun. Saat pertama kali memulai bisnis rental komputer ini, masih sedikit yang membuka usaha rental. Rental komputer lain yang memulai usahanya bersama 10 tahun lalu pun kini sudah tidak ada, Agung Computer, yang dikelola Budi ini-lah yang satu-satunya bertahan.

Awalnya, Budi membuka usaha ini karena keinginannya untuk bisa mengoperasikan komputer, jadi sambil belajar, sambil bekerja sebagai pengelola rental komputer. Sampai kemudian akhirnya Budi bekerja di sebuah perusahaan asing sambil kuliah di jurusan manajemen administrasi komputer.

Namun setelah dua tahun bekerja di perusahaan asing, Budi kembali mengelola usaha rentalnya, untuk memajukan rental yang dikelolanya ini, selain dengan memperdalam ilmunya dengan kuliah di jurusan komputer, Budi juga menomersatukan servis bagi pelanggan, kedua, hasil juga harus memuaskan, dulu harga print Rp 500,- per lembar sekarang disesuaikan dengan yang lain Rp 350,- per lembar.

Dulu ada perkumpulan rental komputer namanya GADYAKOM khusus kampus UIN Syahid. Setiap pertemuan menghasilkan kesepakatan harga, harga kertas, tinta, sementara sekarang semua menaikkan dan menurunkan harga sesuka-suka.

Menurunkan harga Rp 500,- menjadi Rp 350,- pun sudah dikalkulasi matang-matang sebelumnya, karena itu selain rental computer, jasa pengetikan dan biaya print juga dapat menambah pemasukan selain itu ada juga pemasukan tambahan dari jual beli komputer serta servis komputer.

Menurut Budi, dalam setiap usaha maintenance itu penting, tapi dalam usaha rental ini banyak cara-cara yang bisa dilakukan dan kecekatan pengelola berperan besar di dalamnya. Budi Setiawan adalah salah satu contoh pengelola yang mampu meng-handle semua masalah di rental-nya, mulai dari servis, virus sampai kerusakan-kerusakan lainnya juga fasilitas bagi kepuasan para pelanggan mulai dari lantai berkarpet, kipas angin dan musik untuk hiburan.
Agung Computer buka dari jam 6 pagi dan tutup tergantung situasi pelanggan. Saat ramai pelanggan kadang rental baru tutup jam 11 malam. Pengelola harus pintar-pintar membaca situasi anak kampus. Namun umumnya setelah magrib kampus sudah mulai sepi, yang penuh justru rental-rental di dekat tempat kos.

Saat musim liburan kampus, rental tetap buka karena ada juga pelanggan yang umum atau dari kampus lain, kecuali tanggal merah, lebaran, atau hari Minggu. Saat-saat panen rental adalah pada waktu musim ujian, pemasukannya bisa 2-3 kali lipat dari hari-hari biasa.
Usaha rental komputer memang memiliki prospek bagus bila lokasinya strategis, salah satunya di dekat kampus, karena banyak mahasiswa yang punya komputer tapi tidak punya printer, jadi print di rental, ada juga yang tidak bisa mengedit ketikannya lalu meminta jasa edit di rental, ada juga yang punya komputer tapi malas mengetik sehingga menggunakan jasa pengetikan di rental. Semakin dekat dengan kampus berarti semakin hidup usaha sebuah rental komputer.
Budi, sang pengelola, juga pernah survey ke UI di Depok dan Universitas Mercu Buana di Ciledug, harga print-nya sama. Perbedaan harga justru bukan terjadi karena perbedaan kampus melainkan lokasi rental, kalau biaya rental atau print di dekat kampus memang murah tapi kalau rental-rental yang jauh dari kampus harganya bisa tiga kali lipat lebih mahal karena diperuntukkan bagi masyarakat umum.

Maju atau tidaknya sebuah rental itu tergantung pengelolanya, kalau pengelola cekatan, paham dengan kondisi komputer, paham dengan berbagai karakter pelanggan, ramah dengan pelanggan, bisa meng-handle saat ada virus atau trouble dengan komputer maka semua itu menjadi indikasi tingkat kepuasan pelanggan.

Friday, August 15, 2008

Review Ciao Italia!

Review Ciao Italia!

Pendapat saya tentang Italia sebelum membaca buku ini adalah sebuah negara yang penuh drama bukan hanya karena kekejaman para Mafioso-nya tetapi juga kisah percintaan para penghuninya. Sebelumnya saya pernah membaca sebuah buku berjudul La Cucina, background-nya Italia, tokohnya seorang gadis asal Sicilia. Dari buku tersebutlah saya tahu sedikit banyak tentang Italia, namun mayoritas dari sisi kuliner-nya. Maka benar-lah adanya istilah la dolce vita dalam buku Ciao Italia ini, orang Italia memiliki gaya hidup sendiri, yang penuh kesenangan dan kemewahan, sama seperti dalam buku La Cucina.

Sebelum membaca Ciao Italia, yang saya kagumi dari negeri ini adalah fashion-nya, namun ternyata ada banyak hal yang dapat dikagumi dari negeri ini. Seolah-olah negeri ini benar-benar mengerti bagaimana cara menjalani hidup dan memanfaatkannya.

Kekaguman saya berawal saat membaca bagian “When in Rome…”, saya seakan terbawa melintas di zona Trastevere, membayangkan keindahan Roma yang terbelah sungai. Belum lagi membayangkan diri memandang panorama Roma dari rooftop museum militer sambil ngopi atau menikmati kehidupan ala slow city di Orvieto serta menikmati keindahan Venezia sambil naik gondola.

Setelah membaca buku ini Italia buat saya adalah sebuah keajaiban dunia itu sendiri, mulai dari bangunan-bangunan antiknya, cita rasa makanannya, cara berpikir penghuninya, semuanya terangkum meninggalkan kesan tersendiri bagi para pengunjungnya. Jelas buat saya pribadi, setelah membaca buku ini, salah satu dalam list must to do in my lifetime adalah menantikan dan berusaha mencari peluang untuk membuktikan tempat-tempat istimewa yang tertulis dalam buku ini dengan mata kepala sendiri, seperti ber-passeggiata di piazza ala Italians sambil makan gelato. Hmmmh…

Italia dalam buku ini jelas tempatnya bersenang-senang, tempat makan sebanyak-nya, memanjakan mata dengan panoramanya, berpesta setiap malam, ngopi-ngopi sepuasnya, juga menikmati musik jazz di Umbria!

Namun, apa yang paling berkesan buat saya saat membaca Ciao Italia ada dua, pertama Naples dan kedua ide Slow Food dan Slow City. Well, kalau diminta memilih satu, saya pilih ide Slow Food dan Slow City. Alasannya kenapa? Pertama karena ide ini begitu brilian, sesuai dengan definisi “menikmati hidup” ala saya. Hidup dimana yang menjadi prioritas adalah kenyamanan itu sendiri, bukan kenyamanan yang diukur dari segi materi tapi kenyamanan dalam bentuk mengekspresikan diri, berbagi kepedulian dengan sesama, mencari esensi dari eksistensi kita hidup di dunia. Bukankah hidup ini terlalu indah untuk sekedar dilewatkan dengan rutinitas mengejar materi?

Well, at last, sukses selalu dan terima kasih untuk sang penulis, Gama Harjono, karena telah berbagi dengan saya tentang keunikan Italia dalam buku ini! Thanks for every detail you share!

Thursday, July 31, 2008

Aku Siap Berhenti

Aku Siap Berhenti

Di sini hujan keras. Langit sakit keras dan awan menangis. Begitulah cerita dari kerajaan langit. Tapi di sini, di bumi. Bumi sakit keras karena tanah mongering. Saat langit sakit, bumi senang, karena tangisan awan akan membasahi tanahnya. Begitu pula mereka saling memahami, melengkapi.

Aku Cuma penghuni. Penghuni yang juga berusaha memahami penghuni lain. Setiap hari yang kudengar Cuma tangisan atau teriakan saja. Bagaimana aku bisa berbicara? Bagaimana aku bisa memahami isi hatinya?

Setiap malam aku resah menunggu kabar darinya. Lalu lagi-lagi yang kuterima hanya susunan kata-kata yang terbatas sebanyak 160 karakter, termasuk di dalamnya emoticon gambar wajah orang menangis. Ada apa sebenarnya, aku masih belum mengerti.

Aku hanya penerima, penampung. Saat tengah malam atau bahkan dini hari ponselku bergetar menerima sms baru darinya. Kata-kata yang berbeda, namun kekecewaan yang sama.

Aku yakin besok, minggu depan atau tujuh tahun lagi aku akan masih tetap di sini menerima sms-nya karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Mengapa aku tetap bertahan dengan keadaan seperti ini? Karena hanya dia yang membuat aku tetap bertahan. Aku memang akan selalu bertahan untuknya. Demi sebuah senyuman yang mampu menghapus segala beban yang kutahan. Demi pancaran mata yang bertuliskan aku bahagia di dalamnya. Demi rasa kagum yang kupendam lama hanya untuknya.

Sikapnya tidak akan pernah kumengerti, karena berubah cepat. Terlalu cepat. Dia teramat dinamis. Lagi-lagi itulah yang melahirkan kekagumanku. Terkadang dia tersenyum dengan bibirnya namun matanya menangis. Terkadang hatinya lirih tangiskan lara namun matanya tersenyum. Tegar. Tetapi tidak jarang dia melarikan kesedihan dan air mata lewat kata-kata dan dikirimkannya tepat sasaran. Padaku.

Menurutku perempuan sepertinya tidak kekurangan sesuatu apapun. Orang tuanya perhatian dan saying padanya. Adik-adiknya juga dekat dengannya. Keluarganya sangat jarang ditemui pada zaman sekarang, keluarga harmonis. Dia juga punya beberapa teman yang cukup mengerti dirinya. Aku tahu pasti kalau dia lebih suka menyendiri, tetapi sebenarnya banyak teman yang akan menyambutnya hangat bila saja dia lebih memaklumi kurang lebih mereka.

Selain itu wajahnya lucu, semua akan selalu terhibur dengan kehadirannya. Tidak cantik memang, tapi lucu. Wajahnya bukan seperti pelawak tapi ekspresi wajahnya-lah yang menjadi daya tarik. Belum lagi kalau kau mendapatinya sedang pulas tertidur, kau akan terkejut, karena ada sebentuk malaikat di hadapanmu. Wajahnya polos. Damai.

Aku mengenalnya sudah sejak awal masuk sekolah dasar. Walaupun hanya bicara beberapa kali, aku langsung menyukainya. Ratusan kali aku menatapnya, tanpa dia sadari. Sampai saat ini pun dia tetap tidak sadar kalau aku sering menatapnya. Manatapnya lama sekali. Aku sampai hapal bagaimana saat dia tertawa, saat itu matanya akan mengecil dan tulang pipinya naik, selain itu barisan gigi kecilnya juga terlihat jelas. Atau saat dia menghiburku dengan wajah yang sengaja dibuat jelek, bibir dimonyongkan dan mata dibuat juling. Hmm, dia benar-banar tampak seperti ikan kelaparan. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana dia menangis, karena dia enggan melakukannya di hadapan orang lain.

Dua minggu yang lalu aku ke rumahnya, dia sedang tertidur di sofa depan. Aku sedih. Bukan karena dia tidur, malainkan karena aku sedang menatap butiran air menetes dari mata yang terkatup itu. Bahkan saat tidur pun dia harus bersedih. Menyimpan luka. Aku mengecup keningnya, lalu pergi. Barharap mimpi sedih yang menggulirkan air mata itu akan berakhir bahagia.

Dua hari yang lalu aku menerima sms darinya:

Aku menyusun kata namun kehilangan makna,

yang mampu bertahan lagi-lagi hanya luka.

Dan hati lumpuh kehilangan rasa.

Sender:

Trinita

+628087400952

Sent:

18-July-2005

02:45:45

Aku menangis. Tepat saat membaca baris terakhir dari sms-nya.

Tuhan, aku tidak ingin melihat perempuan ini terluka. Aku tidak ingin pencarian cintanya hanya membuat penderitaan baginya. Tolong aku, Tuhan. Aku bahkan tidak berani bermimpi untuk memilikinya. Aku takut kata kecewa itu justru semakin dalam Karena kehadiran cintaku.

Sms balasan dariku hanya sebuah kalimat penenangbukan ungkapan cinta. Walau sebenarnya ingin sekali aku berlari kesana, memeluknya erat, dan meminjamkan bahuku. Apa saja akan aku lakukan.

Seminggu lagi dia akan berulang tahun, aku sibuk mencari hadiah apa untuk sebuah kekaguman. Sepintas terlintas kembali wajah lucu itu. Wajah yang selama lima belas tahun tidak pernah lepas dari ingatanku. Walaupun semakin dewasa wajahnya masih sama seperti dulu. Seperti pertama kali aku menatapnya.

Pertama, aku mengunjungi took perhiasan, aku rasa mahalnya barang akan menunjukkan kesungguhanku padanya. Tapi aku ragu saat memilih, setahuku dia tidak pernah menyukai aksesoris menempel di tubuhnya. Dia selalu tampil polos. Sederhana. Dia memang sudah istimewa apa adanya. Lalu aku pindah ke took bunga, harum yang alami menyeruak saat aku menarik napas. Segar. Bunga-bunga itu telah terbungkus dalam bingkisan cantik. Lagi-lagi aku ragu, aku yakin dia akan lebih suka kalau aku membawa pohon suplir dalam pot lengkap dengan sebungkus pupuk, karena dia lebih suka menumbuhkan tanaman daripada menikmati petikan bunga yang hanya akan bertahan beberapa hari untuk menyenangkan mata-mata egois manusia. Seperti dia lebih suka melihat kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaannya sendiri.

Kali ini aku memasuki took yang tepat, took buku. Aku tahu persis dia suka menulis, apalagi membaca. Obsesinya adalah membuat film dengan skenarionya sendiri. Lagi-lagi aku kagum. Aku mencari di bagian sastra, mencari sesuatu yang menarik. Kira-kira apa yang akan membuat matanya membelalak kaget dan penasaran ingin membaca. Aku memang bukan anak sastra dan kurang mengerti seni. Tapi aku pasti tahu apa yang dia suka. Samara-samar aku melihat cover buku yang melukiskan garis-garis wajah yang sering kulihat, Nicholas Saputra, idolanya. Lalu aku membaca judulnya Catatan seorang Demonstran “Soe Hok Gie”. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambilnya dari deretan anjang buku sastra lainnya. Lalu aku juga memilihkan sebuah buku elegan yang bisa dijadikan jurnal untuknya.

Tiba-tiba ponselku bergetar, perasaanku berubah menjadi tidak enak. Saat kubuka, ternyata isinya:

Teman-teman sangat diharapkan kehadirannya dalam pernikahan Aga & Trinita, di aula gedung PUSDIKLAT, Sabtu, 23 Juli 2005, pkl. 11.00-14.00 WIB. Trm kasih.

Sender:

Trinita

+628087400952

Sent:

19-July-2005

16:03:27

Aku kecewa. Dia bahkan tidak menyebut namaku di dalam undangannya. Pasti dia menggunakan fasilitas ponsel untuk mengirim pesan ke beberapa orang. Dia sama sekali tidak menganggapku sebagai orang yang special, orang yang selama ini selalu menerima pesannya, orang yang selalu berusaha menenangkannya dengan merangkai kata-kata, yang merupakan hal tersulit untuk dilakukan seorang teknisi seperti aku. Bahkan saat kekecewaan itu hadir, lagi-lagi aku sedang memikirkannya, memilih hadiah ulang tahun untuknya.

Kaget. Kecewa. Sedih. Marah. Semua jadi satu dalam alam pikiranku. Aku sadar, aku memang pengecut. Untuk mendapatkan kebahagiaanku saja aku masih harus berkalkulasi dengan perasaan. Takut dikecewakan. Takut ditolak. Takut kalau ternyata sudah ada cinta yang lain. Sekarang ketakutan terbesar itu justru harus aku hadapi sendiri. Kehilangan dia.

Aku tidak bisa menyalahkannya. Dimana salahnya bila dia tidak menyadari sepasang mata selalu mengaguminya. dimana salahnya bila dia sedang tertidur pulas saat aku diam-diam mengecup keningnya. Dimana salahnya bila dia tidak mendengar teriakan-teriakan hatiku yang selalu memujanya, mencintainya.

Aku tahu sekarang. Saat orang lain tidak mengerti apa yang kita rasakan, maka kitalah yang harus mengerti akan ketidakmengertian mereka.

Ternyata dia butuh penjelasan atas segala sikapku dan yang kulakukan adalah menyembunyikan penjelasan apapun.

Aku berjalan tegak ke arah kasir membayar buku-buku yang sudah kupilih. Mungin buku ini akan lebih berguna untukku. Untuk berhenti bersembunyi.

Ksatria Diplomatis

Ksatria Diplomatis

Aku masih sangat ingat dia berusaha untuk mempertahankan wajah diplomatisnya, terutama saat merasa terluka namun tidak ingin terlihat terluka, saat itu justru luka semakin terlihat jelas. Bibirnya mengatup rapat, menyembunyikan sederet barisan gigi putih bersih, kedua matanya membuka lebar memastikan pada lawan bicaranya bahwa tidak ada genangan air apapun di sana. Yakin akan mimic tegar yang ditatapnya berkali-kali di depan cermin. Lalu mengaitkan jari-jemarinya, duduk tegak dengan lutut sedikit terbuka. Menatapku lurus dalam jarak yang memisahkan.

Aku tersenyum dalam hati. Bila dia piker, dia adalah ksatria berkuda putih yang selalu siap menjemputku, yang selalu menjadi impian setiap wanita, dia salah. Aku yakin dia ksatria berkuda putih yang memiliki satu nyawa, yang tetap akan tergelincir bila kudanya mengarungi lautan, ksatria yang akan jatuh bila ada beribu panah api ditembakkan ke tubuhnya, sekaligus ksatria yang akan merelakan kudanya dinaiki nenek beserta cucunya yang miskin yang sedang berjalan jauh menuju sungai. Karena aku yakin dia adalah ksatria baik hati yang hanya manusia biasa. Ada saat di atas, ada saat di bawah. Bagiku ataupun dirinya.

Dan aku juga bukan wanita biasa. Aku adalah wanita yang merekam kehidupan. Aku adalah wanita ksatria. Jarang menunggu dijemput kuda putih. Aku memilih berjalan daripada menunggu lama. Tidak jarang aku menunggang kudaku sendiri. Mengumpulkan ranting sendiri.

Lama kelamaan hening beranjak. Aku tersenyum sambil menatapnya.

“Kamu cemburu, kan?” tanyaku menggodanya.

“Ngga…yah…itukan keputusan lo…hak lo…” jawabnya dingin.

Aku sudah sangat hapal dengan kebiasaannya ber-gue-elo saat gusar.

“Ya udah kalo gitu…ada yang masih mau dibicarakan?” tanyaku.

“Aku rasa ngga ada, lagian aku masih ada janji lain.” Nada bicaranya terburu-buru sambil bolak-balik memeriksa jam tangannya.

Hmm…orang angkuh, batinku.

Entah jurus apa lagi berikutnya, yang sudah sangat kuhapal, dialah yang akan pertama kali mengirim pesan, berpura-pura tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Jurus terjitu untuk tidak mengambil pusing masalah adalah lari dari masalah. Lari dari masalah salah satunya dengan berpura-pura masalah itu tidak pernah ada. Dan kita adalah tetap pasangan yang serasi.

Buat dia. Laki-laki kuat. Laki-laki melindungi. Perempuan rapuh. Perempuan dilindungi. Buat aku. Laki-laki kuat. Perempuan kuat. Laki-laki lemah. Perempuan lemah. Laki-laki, perempuan, sama. Hubungan laki-laki perempuan juga begitu, kadang kuat, kadang lemah, kadang harmonis, kadang berselisih. Sama seperti kehidupan itu sendiri yang kadang mulus, kadang juga berliku. Sama seperti cinta, kadang putih, kadang bernoda. Tidak ada yang sempurna.

Yang paling membuatku tidak nyaman adalah dia selalu berusaha menjadi pasangan yang sempurna. Sementara aku sangat percaya pada ketidaksempurnaan. Sesuatu yang sempurna seperti dia terasa tak nyata terkadang bagiku.

Tulalit. Tulalit. Satu pesan diterima.

Sender: Lover

Kamu lg dimana sekarang? =) How’s ur day?

Ya Tuhan…apa disini Cuma aku satu-satunya orang yang punya kesadaran penuh? Apa maksudnya “How’s ur day?” Apa dia lupa kalau kita habis berantem alias perang dingin siang tadi? Dan ini baru empat jam berlalu, yang artinya kalau memori ingatannya masih bagus seharusnya dia masih ingat bagaimana dia meninggalkan ruang tamu, dengan minuman yang belum tersentuh dan tanpa menatap lagi lalu keluar pintu. Meninggalkanku bengong dan bingung sendiri dengan apa yang barusan terjadi.

Aku tidak membalas pesan konyol tersebut. Apa dia mengharapkan aku membalas dengan isi: “Great day 4 me, km dimana? Udh mkn blm?” Nope! Aku ngga mau ambil bagian dalam melodrama ini! Kalau dia berpikir dengan logika. Aku bertindak dengan hati, berpikir dengan hati. Saat hatiku bilang ada yang tidak beres disini, maka itulah yang aku yakini, itulah realitanya. Kalau menurut logikanya, cara berpikirku rumit. Karena memang aku yakin, kehidupan pun rumit. Kalau dia piker aku mempersulit keadaan. Nope! Aku Cuma bersikap menerima kalau kehidupan itu rumit dan kita tidak akan selalu bahagia seperti dalam cerita-cerita, tetapi tidak juga selalu mengharu biru. Karena selalu ada jalan dan di saat sulit begini, aku yakin lebih baik bertatap muka dan menghadapi kepahitan daripada menelan bulat-bulat sesuatu yang sama sekali tidak kita suka.

Aku kecewa kenapa dia tidak menyalahkanku atau menanyakan alasan kenapa aku berbuat demikian. Kenapa dia memilih bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Karena kalau dia mau membuka mata, aku tidak butuh ksatria, aku butuh teman di saat senang atau menderita, itu juga kalau dia mau belajar dari permasalahan sekarang. Intinya aku tidak suka ksatria dengan strategi perangnya, dengan prinsip membunuh atau dibunuh, aku tidak menganggap berpikir dengan logika itu kekuatan ksatria, karena bisa jadi justru logika yang membunuh nuraninya. Lalu ksatria apa yang bertahan di medan perang tapi kehilangan nuraninya, seperti bagaimana dalam suatu scene di The Last Samurai. Seorang letnan Amerika yang terus terbayang-bayang saat pasukannya menyerang desa suku Indian tanpa kenal ampun.

Aku menyesal pernah ada perselisihan seperti ini, tapi aku yakin aku belajar sesuatu dari peristiwa ini. Seperti yang aku pernah bilang…semuanya akan kembali pada diri kita masing-masing, karena setiap orang punya persoalan dan kehidupannya sendiri-sendiri. Aku sebenarnya kecewa banget sama perilaku dan perlakuan bapak ksatria ini, tapi jadi belajar berempati juga. Belajar mengerti, belajar berpikir bagaimana cara berpikir orang, sudut pandang dia, keinginan dia, ambisi dia.

I quit. Aku telepon ksatria setelah dua minggu tidak ada kabar sama sekali. Dan dia bilang it’s over! Katanya dia sengaja tidak menghubungiku karena memang tidak mau terlalu dekat lagi, Karena dia mau pergi jauh. Aku kecewa banget…karena dia tidak menjelaskan apapun. Setidaknya memberi kabar tentang keputusan terakhirnya ini. Sering kali orang yang kita sayang tidak dapat membaca pikiran kita. Pikiran yang 24 jam hanya berputar tentang dia dan dunia di sekitarnya.

Mmh…you know what God? Sebenarnya aku selalu memimpikan kehidupan cinta para putri-putri, saat membaca kisah-kisah mereka aku Cuma ingat satu putri punya satu pangeran. Tapiii…kenapa berbeda sama kehidupan percintaan aku ya? Aku sudah berganti-ganti banyak cowok dan tidak tahu mana yang sebenarnya “pangeran” aku.

Aku mau komitmen sama satu orang sampai disahkan lembaga pernikahan, sampai melewati umur 30, 40, 50, 100, sampai punya anak dua atau tiga, sampai rambut kita memutih, sampai kita check-up ke rumah sakit bareng, sampai dia matiin TV pas aku ketiduran di sofa dan gendong aku ke kamar, sampai aku bisa merealisasikan menulis buku-ku sendiri suatu hari nanti, sampai aku bisa bikin film sendiri…sampai dia masangin gigi palsuku (eh, yang gigi palsu ngga jadi deh…aku mau gigi aku tetap utuh sampai oma-oma nanti ya Allah, please…) aku mau dia ada dalam setiap moment mulai hari ini dan selamanya, begitu juga aku untuk dia…

Sender: Ksatria-Jerman

Kalo suruh gambarin kamu dalam 3 kata *mikir dulu* hm…you are a marvel, unique n complicated ;) Bales dunk, kalo aku apa? 12:08 6-Jul-2006

Sender: Ksatria-Jerman

Alhamdulillah =) Yuhuuuw…aku senang banget! Aku berharap banget mudah-mudahan kita bs langgeng y, I’ll do my best… 23:23 6-Sept-2006

Aku membuka-buka lagi inbox ponselku. Pesan-pesan darinya memang sulit untuk dihapus begitu saja. Tapi yang begitu mengena adalah pesan terakhir darinya: That’s life! Tiga kata itu begitu menyakitkan, tiga kata yang sanggup membuat perjalanan dari Bintaro ke rumah selama 45 menit begitu panjang dan beruraian air mata. Air mata terakhir karena tidak ada yang lebih menyakitkan dari kata-kata tersebut.

Dua bulan kemudian.

Tilulit. Tilulit.

“Halo?” Aku.

“Mmh…ini aku.” Ksatria.

“Owh.” Aku.

“Aku mau pamit, besok aku sudah mulai dinas di Batam. Aku juga mau minta maaf kalau ada salah sama kamu. Kamu apa kabar?” Ksatria.

“Baik. Aku juga minta maaf. Kamu disana hati-hati ya…” Aku.

Ada yang mau aku omongin…” Ksatria.

“Apa?” Aku.

“Mmh…” Ksatria.

“Mm?” Aku.

“Ngga jadi…kamu istirahat aja ya, maaf yah malam-malam telepon. Jaga diri baik-baik yah…” Ksatria.

Klik.

Buat aku sesuatu yang tidak dikatakan, tidak akan tersampaikan.

Kisah Demokrasi dalam Demonstrasi

Kisah Demokrasi dalam Demonstrasi

Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Ini sudah tidak asing lagi tapi kalau Indonesia negara demonstrasi? Kenaikan BBM sejak 23 Mei 2008 lalu memicu demonstrasi-demonstrasi yang mewarnai Jakarta setiap harinya mulai dari Bundaran HI sampai Istana Negara, tujuannya satu, menolak kenaikan BBM.

Sedetik sebelum saya benar-benar berada dalam sebuah demonstrasi, saya yakin ada cara lain yang lebih baik, lebih efektif untuk menyuarakan sebuah aspirasi. Sampai akhirnya pada tanggal 21 Mei lalu saya mengalaminya sendiri, tepatnya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa cara lain tidak ada, mereka membuat cara baru, cara mereka sendiri untuk didengar di tengah-tengah gedung megah segitiga emas Jakarta. Kemudian saya membayangkan apa rasanya menatap para demonstran dari balik kaca, dari kenyamanan sejuknya air conditioner dan sofa empuk.

Saya melanjutkan long march bersama para demonstran, merasa bersyukur karena bukan lagi orang yang hanya bisa menyaksikan dari balik kaca, dari balik layar televisi, dari balik kenyamanan. Bersyukur karena turut turun ke jalan, berpartisipasi dan meng-apresiasi sebuah aspirasi, di bawah teriknya matahari, dalam suasana yang “membangkitkan”.

Siang terus berjalan dan para demonstran tetap tegak berdiri. Keinginan yang terus diteriakkan di tengah-tengah gedung-gedung tinggi, ribuan orang yang teriak di jalan bahkan tidak menganggu kenyamanan para socialite yang sedang menikmati lunch. Gambaran yang ironis dalam satu hari di Jakarta.

Long march terus berjalan, di Jl. M. Husni Thamrin, barisan depan melakukan aksi tidur di tengah jalan. Menurut saya ada kepuasan pribadi yang mereka rasakan. Kepuasan sebagai penguasa jalan, merasakan jalan milik sendiri dan dipandang semua orang, menjadi pusat perhatian. Ada kepuasan yang hanya bisa dirasakan bukan dilihat, bukan juga dibariskan dalam lisan kata. Terbakar matahari, suara habis, badan penuh, keringat, semua terbayar dengan kepuasan sebagai penguasa tadi.

Dalam demo siang ini, potret keramahan Indonesia tetap terasa antara pedagang asongan dengan pembeli, yang kebanyakan para demonstran, pemulung dengan para peminum, polisi dengan pendemo. Ternyata menyuarakan isi hati ngga harus ngotot. Saya memperhatikan komunikasi yang terdengar akrab antara polisi barisan depan yang berfungsi sebagai border line dan mahasiswa barisan depan. Mereka bertukar senyum. Namun saya yakin sedetik kemudian apabila terdengar sebuah komando dari masing-masing kubu maka mereka mampu saling membunuh.

Entah sebuah kebetulan atau apa, kaki ini mengantarkan saya pada sebuah demonstran, seorang bapak usia 40 tahun, warga Desa Suka Mulya, Kecamatan Rumpi, Bogor Barat, setelah ngobrol-ngobrol beberapa menit saya mengetahui pekerjaannya sebagai petani, anaknya 6 orang, yang paling besar masih duduk di bangku SMA berumur 19 tahun, paling kecil masih usia 4 tahun. Saat ditanyakan soal perasaan, beliau langsung bilang “senang”. Saat ditanya apakah ada rasa bangga, beliau juga berseru cepat “bangga”. Tidak ada banyak kata yang keluar dari mulut kering Pak Mukrie ini, beliau pun tidak cepat menangkap pertanyaan yang saya lontarkan, apalagi pada saat menjawabnya, entah karena tidak fokus atau memang kata-kata saya sulit ditangkap.

Namun begitu beliau lancar menceritakan kasus sengketa tanah di Bogor seluas 449 hektar, katanya Pak Mukrie ini juga pernah mendemokan kasus ini di depan gedung DPR tahun 2006 lalu. Sekarang kasus sengketa tanah ini sedang di-lobby dengan pihak DPR, bisakah Anda membayangkan seorang petani me-lobby DPR, apa yang akan mereka katakan? Saya membayangkan para pejabat ini akan bicara panjang lebar dengan istilah-istilah yang sulit dimengerti oleh para petani, tapi isi pembicaraannya tetap saja menguntungkan sebelah pihak, yaitu para pejabat tadi.

Ternyata Pak Mukrie termasuk warga Bogor yang aktif ikut demo, ditanya motivasinya apa, beliau bilang bangga saja sebagai rakyat bisa menyuarakan isi hati. “Anak istri saya di kampung juga tahu dan mendukung begitu juga dengan warga kampung saya, perwakilan dari kecamatan kami ada sekitar 35 orang,” ungkap Pak Mukrie.

Bila kita membayangkan ada “oknum” di balik semua ini, lalu coba tanya lebih jauh siapa oknum di balik Pak Mukri yang bersama-sama warga desanya berangkat jam 6 pagi dan stand by di bundaran HI sejak jam 9.30 WIB? Oknum yang ada di balik Pak Mukrie adalah anak istrinya dan segenap warga kecamatan Rumpi. Pak Mukrie tidak ikut bernyanyi bersama barisannya, tidak memakai kaos seragam seperti yang lainnya, beliau hanya mengenakan kemeja biru muda yang telah lusuh, celana bahan dan sepasang sandal. Saya selalu berjalan tidak jauh darinya, di belakangnya, dari samping barisan, atau mengamati samar-samar dari balik kerumunan. Saya tak melihatnya minum atau makan, atau ada orang lain yang menghampirinya memberi minuman botol seperti yang lain. Beliau hanya berjalan di pinggir barisan atau terkadang istirahat sejenak dan mengejar gerombolannya kembali. Saat mencapai istana saya kehilangan jejaknya, karena aliansi lain bergabung dari berbagai penjuru.

Beliau telah beberapa kali ikut demo namun belum ada hasil nyata. Pekerjaan sebagai petani pun ditinggal. “Ngga apa-apa untuk membela rakyat,”ungkapnya. Seperti yang selalu diajarkan guru-guru kita di sekolah, demokrasi adalah “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Selamat Pak Mukrie, Anda telah mengamalkan apa yang Anda pelajari!